Tampilkan postingan dengan label hobi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hobi. Tampilkan semua postingan

Awalnya Cuma Mau Slow Living, Kok Malah Jadi Ngos-ngosan Karena Unggas

Minggu, Desember 07, 2025 13 Comments


dianti.site - Awalnya tuh cuma mau slow living, best.

Pengen hidup santai, dekat alam, pelihara unggas sedikit-sedikit… lalu tiap pagi minum teh sambil liatin ayam berkeliaran.

HAHAHAHA

Nyatanya?

Sekarang jumlah unggas di rumahku sudah cukup buat bikin rapat RT khusus hewan.

Total 68 ekor.

Iya, ENAM PULUH DELAPAN.

Bukan slow living, tapi full team building unggas.

Tapi ya gimana… walaupun chaotic, heboh, dan kadang bikin aku pengen pura-pura pingsan, semua itu tetap lucu dan bikin hidup makin rame.

Mari kita mulai dari awal kehebohan perjalanan manis ini.


Kalkun Si Bodyguard dengan Loyalitas Tinggi

Aku punya 9 ekor kalkun (5 dewasa + 4 remaja).

Kalau kamu belum pernah ketemu kalkun langsung, bayangin ayam… tapi versi lebih gede, lebih berotot, lebih berwibawa, dan kalau jalan ada sound effect: “tuk tuk tuk tuk”.

Kalkun-kalkun ini sekarang jadi pasukan keamanan kandang.

Beneran, kalau ada kucing lewat, mereka langsung pasang badan.

Ayam-ayam kecil sampai ngumpet di belakang mereka kayak pegawai magang di belakang manager.

Dan yang paling bikin senyum, kalkun itu makan sampai ke rumput-rumputnya juga habis.

Jadi selain bodyguard, mereka ini sekalian lawn mower hidup.

Lebih hemat listrik, lebih lucu, lebih drama.


Baca juga: Tanam Melon di Rooftop: Urban Farming Zero Waste yang Drama Banget


Ayam: dari Lokal Sampai ABG KUB-Elba

Karena hidupku udah chaotic, aku tambahin chaos lain berupa AYAM berbagai versi:

4 ayam kampung lokal, ibu-ibu kompleks, kalem tapi selalu benar.

1 ayam kampung Vietnam, aura petarung, tapi halus budi pekerti.

22 ayam KUB si mesin produksi masa depan (kalau mereka berhenti jadi ABG).

8 ayam Bangkok pasukan elite, aura garang, tapi kalau aku datang bawa pakan langsung mendadak manis.

9 ayam Elba, estetika unggas, warna cantik, vibe artis pendatang baru.

2 ayam Sentul, yang ini calon presiden unggas, genetiknya premium.

Nah, sekarang kita bahas dua spesies paling bikin ketawa: KUB & Elba.

Sampai sekarang belum bertelur sama sekali.

Bukan karena bandel.

BUKAN.

Tapi karena…

Mereka masih ABG.

Tubuhnya gede, nafsu makan tokcer, larinya kayak dikejar mantan.

Tapi sistem reproduksi masih loading.

Pantes tiap pagi aku tanya:

“Hari ini ada telur?”

Mereka jawab dengan tatapan kosong versi unggas:

“Bu… kami masih remaja. Yang ada juga PR sekolah belum kelar.”


Merpati: Penghuni Apartemen Vertikal


Jumlah merpati 13 ekor aja sih.

Kalau kandang ayam itu kayak perumahan landed house, kandang merpati ini kayak apartemen sudut kota.

Mereka memanfaatkan ruang vertikal, jadi nggak ganggu ayam bawah dan nggak bikin konflik.

Tinggalnya rukun, estetik, dan penuh PDKT tiap hari.

Kadang aku turun ke kandang cuma buat lihat merpati ngasih kode ke pasangannya:

“Cik. Cik.”

(bahasa merpati: “ayuk jalan bareng.”)

Healing murah meriah.


Sistem Polikultur, Ribet tapi Waras Dikit

Aku pakai sistem polikultur unggas biar kandang katanya lebih efektif. 

Modelnya semi koloni dan postal, lengkap dengan umbaran terpisah khusus karantina unggas. 

Jadi tenang aja, gak bakal ada drama eek nyasar ke teras tetangga. Aman sentosa. hihihi

Ayam dipisah berdasarkan jenis, usia, karakter, dan produktivitas.

Kalkun? Satpam komplek.

Merpati di atas, jadi penghuni vertikal ala apartemen hemat.

Konon sistem ini bikin hidup lebih efisien dan santuy.

HAHA.

Enggak.

Niatnya mau slow living, tapi kenyataannya aku:

lari-lari ngejar ayam yang kabur kayak lagi audisi Ninja Warrior, ngomel tiap sore, tiap pagi ngitung ayam kayak bendahara organisasi yang takut audit.

Slow living dari mana, Bestieeeee.


Baca juga: Rooftop Garden Mode Survival di Musim Hujan, Terong Jagoannya


Produksi Telur, Konsumsi Mandiri yang Bikin Bangga


Saat ini hasil ternakku masih untuk konsumsi pribadi. 

Aku melihara sendiri, nyiapin kandang sendiri, nyari pakan sendiri, motong sendiri, masak sendiri, makan sendiri.

Apakah ini self-love?

YES.

Apakah ini bentuk hidup mandiri ekstrem?

JUGA YES.

Tiap makan ayam hasil ternak sendiri rasanya kayak:

“Nih hasil kerja keras gue. No cheating. No outsourcing,

Proud level, naik satu bintang.


Drama Harian Singkat yang sebenarnya panjang


Pagi ngasih pakan.

Sore ngasih pakan lagi.

Ada yang kabur.

Ada yang nemplok bahu.

Ada yang pura-pura pingsan kalau aku marah.

Kalkun sok budiman.

Merpati sok romantis.

Aku ngomel terus.

Tapi entah kenapa…

aku menikmati semuanya.


Dari Ngomel Jadi Sayang, Dari Chaos Jadi Cerita

Pada akhirnya, ini bukan cuma soal ngurus unggas.

Ini soal hidup yang ternyata lebih lucu, lebih ramai, lebih hangat dari dugaanku.

Tiap hari ada aja drama.

Ayam remaja lari-lari, kalkun sok jagoan, merpati pacaran.

Tapi mereka bikin aku ngerasa dibutuhin.

Ngerasa hidup.

Ngerasa nggak sendiri.

Kadang aku marah.

Kadang aku ketawa sampe melorot ke tanah.

Kadang aku cuma duduk di depan kandang sambil mikir:

“Ternyata bahagia tuh sesederhana ngeliat ayam makan rakus.”

Dan walaupun aku ngomel tiap hari…

aku selalu kembali ke kandang itu juga.

Karena ini bukan cuma peternakan.

Ini rumah. Ini cerita. Ini hidupku versi paling jujur.***

Rooftop Garden Mode Survival di Musim Hujan, Terong Jagoannya

Minggu, November 30, 2025 7 Comments


dianti.site — Ada satu pertanyaan besar yang selalu muncul setiap kali masuk musim hujan.


“Aku ini petani rooftop atau pemain sinetron Indosiar yang tiap sore dijadwalkan meratapi hujan dengan adegan sedih?”


Awalnya niatku mulia, mau merawat kebun biar tetap produktif meski cuaca galau. 


Tapi realitanya?


Musim hujan tuh kayak manusia toxic yang datang tanpa permisi, pergi sesuka hati, dan ninggalin luka menyakitkan.


Mulai Berkebun, Tapi Cuacanya Kayak Lagi Prank


Sebagai pekerja rumahan yang sibuk nyambi jadi tukang spall spill, chef dadakan, dan tetangga yang jarang bersosialisasi, waktu berkebun tuh paling sering cuma sempet sore hari.


Masalahnya…


Setiap aku mau naik ke rooftop jam 4 atau 5 sore, H U J A N.


Bukan gerimis romantis ya besttt… tapi hujan deras tipe “kamu jangan berharap apa-apa dari hidup ini”.


Jadilah setiap sore aku berdiri di depan pintu rooftop sambil melongo, lihat air turun kayak efek slow-mo MV mellow.


“Yaudah deh tanaman… relakan saja nasibmu.”


POC: Dituang Dengan Cinta, Tersiram Ulang Oleh Semesta


Karena masih punya jiwa zero-waste, aku tetep rutin bikin POC dari dapur.


Setiap mau kasih POC, aku selalu semangat membara. 



Bawa wadah, naik ke rooftop, siap menyiram dengan kasih sayang.


Tapi ya itu dia…


Baru nyiram sebentar, langsung hujan.


POC yang kubuat penuh cinta langsung dilarutkan hujan seolah berkata:


“Udah ya, kamu gak usah capek-capek… biar aku yang ambil alih.” –hujan, probably.


Capek banget sumpah! Rasanya kayak ngisi bensin full tank tapi tumpah semua di jalan.


Melon Mati, Kangkung Kutilang, Jagung Kerdil


Mari kita mulai dengan yang paling tragis dulu…


1. Melon Gugur


Si melon kesayangan mati karena terlalu sering kehujanan.


Daunnya lepek, batangnya letoy, apalagi buah-buah kecilnya membusuk, overall vibes-nya… “let me rest”


Aku cuma bisa mengangguk pasrah sambil bilang:


“Best, kamu mati bukan karena gagal… tapi karena cuaca jahat.”


2. Kangkung Kutilang


Kangkungku tumbuh sih tumbuh… tapi ciamik banget alias kutilang: kurus, tinggi, langsing.


Kayak kangkung yang lagi diet ekstrem buat photoshoot cekrek cekrek, wkwkwk


Aku lihat batangnya yang kurus, aku cuma bisa tahan ketawa:


“Ini kangkung atau model runway Jakarta Fashion Week?”


3. Jagung Mini Kurang Gizi


Jagungku sempat berbuah, tapi kecil banget.


Bukan baby corn aesthetic, tapi lebih ke “aku malas tumbuh di cuaca begini.”


Kayak anak sekolah yang dipaksa upacara pas hujan rintik-rintik: hidup ada, tapi semangat nihil.


Gulma Tumbuh Subur


Sementara tanaman utamaku drama semua, gulma justru paling survive.


Daunnya hijau.

Tumbuh cepat.

Pede banget.

Seolah berkata:


“Tenang… kalau tanamanmu mati, aku tetap ada kok.”


Dari semua tanaman, gulma justru yang paling setia. Ironis banget!


Musim Hujan & Risiko Kesamber Petir: Aku Nggak Se-Strong Itu


Pernah kepikiran untuk tetap naik ke rooftop sambil hujan-hujanan?


Pernah.


Tapi setelah mikir:


“Aku mau berkebun atau mau viral di berita?”


Akhirnya aku memilih hidup lebih lama untuk merawat tanaman lain.


Karena ya… siapa juga yang mau berkebun sambil bawa POC, tangan basah, rooftop open air, dan langit kilat-kilat?


Nope.


Aku masih mau hidup bahagia well...


Plot Twist Bahagia: Terong Survive Seolah Kebal Segala Cuaca


Di antara semua tanaman yang menyerah seperti aku tiap lihat saldo e-wallet, ternyata terong adalah MVP musim ini.


Bukan cuma hidup, tapi tumbuh sehat dan berbuah.


Ada terong ungu bulat dan terong hijau bulat, dua-duanya tumbuh gagah tanpa drama.


Aku sampai bengong:


“Serius kalian kuat? Kalian tumbuh di dunia yang sama dengan melonku tadi?”


Terong ini beneran strong independent vegetable.


Akhir Musim, Akhir Drama: Aku Tetap Bertahan


Setelah semua tragedi itu, aku sadar satu hal.


Berkebun di musim hujan itu bukan tentang hasil… tapi tentang mental.


Belajar pasrah, belajar ikhlas, belajar terima kenyataan bahwa tanaman gak selalu sesuai rencana.


Tapi juga belajar senang, karena ada satu-dua tanaman (kayak terong) yang bikin kamu merasa semua usaha gak sia-sia.


Makanya, kalau mau mulai urban farming:


Siap-siap kecewa.


Siap-siap ketawa sendiri.


Siap-siap nyalahin hujan tiap sore.


Tapi juga siap-siap bahagia waktu ada satu tanaman survive kayak pahlawan.


Karena pada akhirnya…


“Kebun mungkin tak terawat, tapi perasaanku minimal tetap sehat,”


Eaaa~



Tanam Melon di Rooftop: Urban Farming Zero Waste yang Drama Banget

Minggu, November 16, 2025 26 Comments


dianti.site- Awalnya tuh simpel banget, aku cuma pengen ikut tren urban farming yang lagi rame di TikTok, niatnya sih healing tapi malah overthinking.

Katanya, kalau nanam tanaman, hidup jadi tenang, udara bersih, hati adem.

Realitanya? Yang adem cuma AC, bestii

Setiap kali liat orang di TikTok panen kangkung, tomat, sawi dari pot bekas, ekspresinya tuh kayak “hidupku damai banget.”

Aku yang nonton ikut termotivasi.

Mikir, “Ah gampang! Tinggal siram, kasih pupuk, panen. Gitu doang kan?”

Hahaha. Salah besar aku bestii.

Sekarang aku sadar, ternyata berkebun itu bukan cuma soal nyiram dan pupuk.

Tapi juga soal mental support karena tanaman tuh punya drama lebih banyak dari FTV sore.

Kalau sedikit aja telat disiram, langsung kayak mau give up on life.


Dari Galon Bekas Jadi Pot

Karena konsepku zero waste, aku gak beli pot baru.

Aku ambil galon bekas air mineral, potong, cat, kasih lubang di bawah, and done.

Hasilnya? Pot besar gratis dan surprisingly cukup kokoh 

Selain lebih hemat, pakai galon itu juga pas banget karena akar melon lumayan panjang. 

Jadi, niat zero waste ini bukan hanya gaya-gayaan, tapi beneran kepake.


Drama Pruning: Ketelatan yang Bikin Bingung

Awal nanam, aku beneran nggak tau kalau melon harus dipruning atau dipangkas. 

Kupikir melon bakal tumbuh rapi sendiri, tinggal disiram dan dipupuk. 

Tapi ternyata enggak! 

Melon tumbuhnya liar banget, merambat ke mana-mana kayak tanaman yang haus kebebasan bertahun-tahun.

Setelah banyak masukan dari orang-orang baik di TikTok, aku sadar kalau idealnya melon itu disisakan satu batang utama supaya fokus tumbuh dan berbuah.

Masalahnya… aku udah telat bangetttt.

Saat sadar, batangnya udah bercabang dua dan sama-sama terlihat “penting”.

Aku bingung harus buang yang mana. 

Akhirnya keputusan paling aman kuambil: dua-duanya kubiarin hidup.

Tidak sesuai aturan, memang.

Tapi yaudahlah learning by doing yakaaan? hihihi.


Baca juga: Rooftop Garden Story, Kangkung Organik dengan Sentuhan Zero Waste


Dari Kutu Daun ke Ulat Misterius

Awalnya aku pikir semua aman.

Tapi pas perhatiin lebih dekat, kok ada bintik-bintik hitam di bawah daun?

Ternyata kutu daun, banyak banget.

Aku panik, langsung jadi detektif kebun: nyemprot air sabun, ngelap satu-satu, kayak skincare-an tapi buat daun.

Setelah itu, aku pikir aman.

Daun-daun udah kupangkas rapi, tanaman udah cakep lagi.

Eh… seminggu kemudian, kejadian aneh muncul.

Daun yang baru tumbuh tiba-tiba bolong-bolong, kayak abis diserang pasukan tikus ninja.

Aku periksa pagi, oke masih bersih.

Sore, eeeeh kok bolong

Ulatnya tuh kayak makhluk gaib, gak pernah keliatan tapi hasil karyanya nyata.

Aku bongkar tiap daun, tiap lipatan batang, gak nemu.

Tapi tiap pagi, selalu ada daun korban baru.

Beneran aktif dan kreatif banget si ulat tuh udah kayak fandom BlekPing.

Sampai akhirnya aku sadar, mungkin ulatnya tinggal di dimensi lain dan cuma mampir malam buat makan daun lalu menghilang lagi.

Sumpah, kalau ini game, level ulatku tuh boss terakhir kayaknya.


Plot Twist Bernama Hujan

Belum sempat pulih dari ulat misterius, datanglah hujan deras tiap sore.

Dan tolong ingat ya, rooftopku itu open air, gak ada atap, gak ada pelindung, gak ada harapan dahlah..

Begitu hujan, air masuk langsung ke galon.

Tanaman melon yang tadinya semangat langsung letoy, daunnya kayak rambut abis kena rebonding gagal.

Aku naik ke rooftop sambil bawa kopi (niatnya mau chill).

Begitu liat melonnya kedinginan, aku cuma bisa ngomel:

“Baru dihantam hujan aja udah kalah. Gimana kalo nanti dihantam kabar PHK?”

Melonnya diem aja, tapi aku yang nagis meratapi nasib yang sudah diperjuangkan sekian purnama.

Sore itu aku resmi kehilangan satu pot melon.

Aku nunduk, hujan turun, lagu sedih berputar di kepala.

Skenario-nya udah kayak ending Drama Korea versi kebun.


Pupuk Ajaib yang Beraroma Misterius

Karena tetep pegang prinsip zero waste, aku eksperimen bikin POC alias Pupuk Organik Cair.

Bahannya simpel banget, sisa kulit buah, sayur layu, air cucian beras, semua dicemplungin ke wadah.

Minggu pertama, aromanya... luar biasa mengguncang dunia, ehhh hidung.

Campuran antara dapur, selokan, dan eksperimen kimia gagal.

Tapi hasilnya gak bohong!

Daun melon jadi hijau segar, batangnya makin kuat, dan tumbuhnya cepat banget.

Aku sampe mikir,

“Oh, ini ya rasanya jadi ilmuwan, tapi di rumah.”

Sekarang aku udah level pembuat pupuk dengan aroma kejujuran.

Kalau parfum bisa nyimpen aroma gak midal, mungkin POC-ku bisa jadi Eau de Misquens Edition. Wkwkwk 


Pestisida Nabati: Racikan Dapur untuk Mengusir Hama


Entah kenapa sisi idealis aku juga muncul saat bahas pestisida.

Aku bertekad nggak pakai pestisida kimia.

Jadi aku buat pestisida nabati sendiri dari bahan sekitar rumah: bawang putih, cabe rawit, daun sirsak, dan sedikit sabun cair sebagai perekat.

Diblender, disaring, dimasukkan botol, selesai.

Wewangiannya khas, tapi lumayan efektif, minimal bikin hama mikir dua kali sebelum makan daun melonku.


Melon Layu, Tapi Aku Naik Level

Setelah semua drama, dari kutu daun, ulat misterius, sampai hujan deras, aku tetep lanjut berkebun.

Karena ternyata urban farming itu bukan soal hasil panen, tapi soal kesabaran dan keikhlasan.

Kadang aku mikir, berkebun ini kayak hubungan percintaan.

Udah dirawat, dikasih perhatian, disiram tiap hari, tapi tetep aja… layu tanpa alasan, kayak di ghosting gitu, wkwk

Tapi dari situ aku belajar:

“Kalau bisa sabar ngurus tanaman, berarti kamu udah siap ngadepin hidup.” cielah deep, kayak yang bener tapi gak realistis, wkwk

Melon pertamaku memang tumbang, tapi aku naik level.

Aku belajar gimana cara pruning, bikin pupuk, dan ngontrol emosi biar gak nyemprot ulat pake Baygon.

Sekarang aku udah bisa liat daun bolong tanpa langsung overreact, cuma ngomel kecil aja kayak,

“Oke, gue tandain lu! Tapi hari ini gak ada buffet lagi ya, plis.”


Urban Farming Buat Semua (Termasuk yang Sering Galau)

Dulu aku kira urban farming cuma buat orang sabar, rajin, dan kalem.

Ternyata enggak, bestii.

Buat kamu yang gampang panik, gampang baper, bahkan gampang rebahan, cocok juga! 

Seriusss! Berkebun sore hari, cuaca udah mulai redup, sambil dengerin lagu-lagu galau Kahitna, nangeees lu! hahaha

Karena di dunia urban farming, kamu bakal belajar semua hal:

Problem solving waktu daun tiba-tiba gosong

Manajemen waktu biar gak lupa nyiram

Kesabaran ekstrem waktu panen molor dua minggu

Dan keikhlasan sejati waktu hasil panen cuma satu buah mungil tapi kamu tetep bangga banget

Jadi kalau kamu mau mulai, gak perlu lahan luas, gak perlu alat mahal.

Mulai aja dari apa yang kamu punya.

Bisa galon bekas, botol plastik, bahkan ember cuci asal gak bocor.

Dan kalau nanti tanamanmu layu, ingat satu hal:

It’s oke. Setidaknya ulatmu Melon Layu, Tapi Aku Naik Level

Setelah semua drama, dari kutu daun, ulat misterius, sampai hujan deras, aku tetep lanjut berkebun.

Karena ternyata urban farming itu bukan soal hasil panen, tapi soal kesabaran dan keikhlasan.

Jadi kalau kamu mau mulai, gak perlu lahan luas, gak perlu alat mahal.

Mulai aja dari apa yang kamu punya.

Bisa galon bekas, botol plastik, bahkan ember cuci asal gak bocor.

Dan kalau nanti tanamanmu layu, ingat satu hal:

“It’s oke, bestie. Setidaknya ulatmu happy dan kamu punya cerita buat ditertawakan nanti.” 

Belajar Bahasa Arab Level Mubtadi di Usia 30: Perjalanan Lucu Menemukan Makna Doa

Sabtu, November 08, 2025 10 Comments
Pelatihan Bahasa Arab UPA Bahasa Universitas Siliwangi

dianti.site - Kalau nanya kenapa aku tiba-tiba belajar bahasa Arab di usia 30 tahun, jawabannya bukan karena iseng atau juga bukan karena pengen pamer bisa ngomong kayak Nancy Ajram.

Dari dulu aku punya satu keinginan sederhana tapi gak pernah kesampaian, yaitu pengen bisa bahasa Arab.

Bukan buat keren-kerenan, tapi karena aku pengen ngerti arti dari doa-doa yang tiap hari aku baca.

Selama ini aku hafal, iya. 

Tapi paham? Belum tentu.

Masalahnya, aku gak pernah nemu tempat belajar yang pas.

Kadang waktunya bentrok, kadang kelasnya jauh, kadang juga... ya, cuma niatnya aja yang rajin, tapi langkahnya males.

Hidayah dari Scroll Sosmed

Kalian gak salah baca! Hidayah itu datang di sela doomscrolling sosmed di sore hari.

Lagi rebahan santai, muncul story dari UPA Bahasa Universitas Siliwangi:

“Kelas Bahasa Arab Level Mubtadi — cocok untuk pemula!”

Langsung mataku cling! Kayak semesta lagi nyentil, 

“Tuh, yang kamu cari dari dulu nongol juga.”

Aku kirim infonya ke suami sambil bilang:

“Sayang..Aku pengen ikut ini,”

Dan kayak suami ideal di drama Ramadan, dia jawabnya bukan cuma “boleh”, tapi langsung bantu daftar dari awal sampe selesai.

Dia bahkan lebih niat dari aku, semuanya dibantu.

Pokoknya dia gak cuma suami, tapi manajer pendidikan rohaniku sekaligus tim IT spiritual.

Tapi gara-gara itu, aku mikir "waaahhh gaada alesan buat mundur nih!" Hihihi

Evolusi Belajar Bahasa

Belajar Bahasa Arab

Waktu usia 20-an, aku kuliah teknik dan otomatis fokusnya jadi belajar bahasa pemrograman.

Aku terbiasa ngoding sampai tengah malam, bahkan sampai pagi, ya cuma buat nyari bug di baris kode.

Aku bisa nemuin kesalahan syntax dalam lima menit, tapi kalau disuruh nemuin makna doa, aku harus buka terjemahan dulu baru paham dikit. 

Lucunya, dulu di kampus aku belajar tentang machine logic, tapi sekarang di usia 30 aku lagi belajar makna kalamullah.

Dua-duanya susah, tapi yang ini rasanya lebih... menyentuh hati.

Usia Suhu, Skill Cupu

Kelasnya gak ramai, cuma beberapa peserta.

Aku jadi peserta paling suhu dalam segi usia, tapi sekaligus yang paling cupu skill-nya.

Diantara mereka, cuma aku yang bener-bener nol besar!

Yang lain masih muda, usia 20-an, dan rata-rata udah pernah belajar bahasa Arab di sekolah atau pesantren.

Baca juga: Rooftop Garden Story: Kangkung Organik dengan Sentuhan Zero Waste

Aku? Beneran cupu!

Bahkan ini adalah kali pertama bagiku dalam belajar bahasa Arab.

Pas instruktur nyuruh baca satu kalimat pendek, teman-teman lain bisa langsung nyebutin atau ngikutin dengan lancar.

Sementara aku masih bengong mikir,

“Emang artinya apa Ustadz?”

Tapi karena peserta dikit, interaksinya jadi intens banget.

Instrukturnya sabar banget dan sering bilang,

"Gak apa-apa pelan, nikmati prosesnya, dan konsisten,"

Kalimat itu jadi penyemangat ketika ngerasa minder banget dan ngerasa sangat tertinggal.

Lucunya Belajar dari Nol

Bahasa Arab Dasar

Belajar bahasa Arab level mubtadi itu kayak naik roller coaster emosional, antara kagum dan bingung jadi satu.

Baru juga hafal “Ismi Dianti” (Namaku Dianti), tiba-tiba udah pindah ke “Min aina anti?” (dari mana kamu?).

Otakku yang terbiasa mikir logika teknik langsung short circuit. wkwkwk

Dan setiap kali aku berhasil baca satu kalimat tanpa salah, rasanya kayak berhasil debug program tanpa error.

Tapi kalau salah? Ya udah, tinggal ketawa bareng teman sekelas.

Tarbiyah Itu Bukan Beternak

Waktu sesi perkenalan, para peserta disuruh nulis teks tentang diri sendiri, seperti nama, pekerjaan, dan hobi.

Aku semangat banget nulis:

“Ismi Dianti. Hiyawati Tarbiyah Al Hayawanati.”

Instruktur senyum sambil bilang, “Wah, Bu Dian mendidik hewan-hewan peliharaannya?”

Aku langsung bingung, 

“Lho, bukannya tarbiyah itu beternak, Ustadz?”

Sekelas meledak ketawa, wkwkwk

Dan sejak hari itu, aku resmi jadi bahan bercandaan, tarbiyah hewan-hewan.

"Apa sekarang hewan-hewanku sudah berakhlak mulia, karena terbiasa di-didik?" Hahaha

Ya Allah, sungguh perjalanan ini penuh daging...eh, makna.

Flashback: Kisah Tragikomedi “Ana Dulu Bu!”

Lucunya, kejadian salah arti bukan pertama kali buatku.

Dulu waktu kerja di sekolah berbasis pesantren, aku pernah bener-bener gak ngerti bahasa Arab.

Suatu hari anak-anak antre di depan ruanganku sambil bilang,

“Ana dulu Bu! Ana dulu!”

Refleks aku buka absen, nyari nama “Ana” tapi gak nemu-nemu.

Eh temennya ikutan nyeletuk,

 “Ana juga Bu!”

“Lho, kok banyak banget anak namanya Ana?!” pikirku dengan sambil sibuk cari nama Ana di daftar siswa.

Baru deh aku sadar kalau Ana itu artinya “Saya” 

Ya Allah, malu banget. 

Perihal "Ana" doang gak paham.

Tapi momen itu bener-bener lucu kalau diingat sekarang.

Mungkin memang udah ditakdirkan buat belajar bahasa Arab.

Dulu aku gak paham, supaya sekarang bisa belajar dengan tawa, bukan gengsi.

Feminim dan Maskulin: Ketika Kata Punya Jenis Kelamin

Kosakata Bahasa Arab

Salah satu hal yang bikin aku bengong pas belajar bahasa Arab ternyata kata juga punya jenis kelamin!

Iya, di dunia bahasa Arab, gak cuma manusia yang bisa feminim dan maskulin, kata benda pun punya identitas sendiri.

Misalnya, “ustadz” artinya guru laki-laki, tapi kalau gurunya perempuan jadi “ustadzah.”

Atau kata “thalib” (murid laki-laki) dan “thalibah” (murid perempuan).

Cuma nambah huruf ta marbuthah (ة) di belakang, tapi maknanya langsung berubah jenis.

Aku langsung mikir, 

“Oh jadi selama ini ta marbuthah itu kayak highlighter pink di akhir kata, tanda bahwa ini versi feminimnya,”

Dan dari situ aku mulai paham, belajar bahasa Arab tuh gak cuma ngafalin kosakata, tapi juga belajar mengenal karakter kata.

Arab Gundul Jadi Tantangan Besar

Nah, kalau ditanya bagian tersulitnya apa? jawabannya jelas, membaca Arab gundul!

Tulisan Arab tanpa harakat itu kayak teka-teki hidup. 

Kadang aku nebak “ini kayaknya fathah,” eh ternyata kasrah

Dan bener juga, setiap kali aku berhasil baca satu baris tanpa harakat dengan benar, rasanya kayak menang olimpiade. 

Kosakata yang Nambah Diam-Diam

Dasar Bahasa Arab

Hal paling ajaib selama belajar ini adalah betapa cepatnya kosakata bertambah. 

Sekarang aku udah bisa ngomong kalimat sederhana.

Dan setiap kali bisa ngomong satu kalimat tanpa macet, aku merasa kayak level up di game.

Cuma bedanya ini bukan Mobile Legends, tapi Mubtadi Legends. hihihi

Classmate Dikit, Tapi Seru

Karena pesertanya dikit, suasana kelas tuh kayak tim yang kompak banget.

Kalau satu orang salah baca, yang lain langsung bantu betulin, tapi sambil ngakak juga.

Aku suka banget momen-momen kayak gitu.

Rasanya bukan kayak kelas formal.

Tapi kayak nongkrong produktif bareng temen yang niatnya sama, pengen ngerti, bukan sekadar hafal.

Dari Hafalan Jadi Pemahaman

Semenjak ikut kelas ini, aku mulai ngerti arti doa-doa yang selama ini cuma jadi hafalan otomatis.

Tiap kata yang dulu lewat begitu aja, sekarang terasa punya makna dan rasa.

Misalnya waktu baca “Rabbighfirli” (Ya Tuhanku, ampunilah aku), aku baru sadar betapa lembutnya permintaan itu.

Dulu aku cuma baca cepat, sekarang aku berhenti sejenak, ngeresapi.

Ternyata doa itu bukan cuma tentang hafal, tapi tentang rasa tulus yang lahir dari pemahaman.

Cambuk Halus dari Drama Korea

Bahasa Arab dari Drakor Genie: Make a Wish

Entah kenapa, dorongan tambah semangat datang dari hal yang gak disangka, seperti drama Korea.

Waktu nonton “Genie: Make a Wish”, aku liat Bae Suzy dan Kim Woo-bin bisa ngomong bahasa Arab.

Auto bengong dong.

“Suzy sama Woo-bin dulu mesantren dimana yaa? Kok bisa pinter bahasa Arab?” wkwkwk

Malu tapi termotivasi, dan seperti cambuk halus bagiku.

Ternyata yang namanya motivasi bisa datang dari mana aja.

Aku Mungkin Paling Lambat

Kadang aku merasa minder karena teman-teman di kelas bisa lebih cepat paham karena udah punya dasar.

Tapi dari situ aku sadar, gak apa-apa aku belajar paling lambat, karena mungkin Allah sengaja memperlambat langkahku biar aku bisa menikmati setiap prosesnya.

Awal yang Datang di Usia 30

Sekarang setiap kali aku buka Al-Qur’an atau buku Doa, aku senyum kecil.

Tapi setidaknya, sekarang aku tahu arti dari setiap kata yang kuucapkan dalam doa.

Aku gak lagi hafal tanpa makna, aku paham walau masih terbata.

Dan rasanya... hangat banget.

Kalau dulu aku sibuk nyari bug di baris kode, sekarang aku sibuk nyari makna di baris doa.

Dan setiap kali aku ngerti satu ayat, aku merasa hidupku baru saja di-compile tanpa error. 

Mungkin aku datang paling akhir ke kelas ini, tapi ternyata di sinilah aku menemukan awal yang baru.

Yaitu awal memahami makna doa, bukan sekadar mengucapkannya.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih aku sampaikan kepada UPA Bahasa Universitas Siliwangi sebagai penyelenggara dan Ustadz Adi sebagai instruktur kelas Bahasa Arab ini.

Daaan, terimakasih kepada suami yang sangat mendukung aku ikut program ini, serta teman-teman kelas yang turut menghangatkan setiap pertemuan.***

Rooftop Garden Story: Kangkung Organik dengan Sentuhan Zero Waste

Minggu, November 02, 2025 20 Comments
Kangkung Organik 

dianti.site- Kalau ada yang bilang urban farming itu cuma hobi “gabut”, percayalah…mereka belum pernah ngerasain panen kangkung sendiri di rooftop yang panasnya kadang kayak neraka sedang promo diskon 90% wkwkwk.

Sebagai orang yang suka eksperimen tanaman (dan kadang sok percaya diri), aku akhirnya bikin kebun kecil di rooftop rumah yang luasnya lumayan, anginnya semriwing, dan mataharinya full all you can shine.


Semuanya bermula dari satu keputusan sederhana “Daripada galon bekas numpuk, mending dijadiin pot.”

Dan begitulah kisah zero waste-ku dimulai. 

Galon-galon bekas air mineral yang tadinya cuma nunggu dijual kiloan, berubah jadi pot kece yang siap menampung tanaman. 

Serius, mereka langsung naik kasta dari “sampah plastik tak berguna” menjadi “pot urban farming kalcer” itu menurutku ya, menurutku aja.

Kenapa Kangkung? Kenapa Bangkok?

Kangkung Bangkok

Ada banyak pilihan tanaman sebenarnya, tapi kenapa aku pilih kangkung bangkok?
Jawabannya simpel:

- Kangkung itu bandel, cocok buat pemula.

- Cepat panen, jadi gak bikin galau nunggu lama kayak PDKT apalagi kalo ujungnya HTS-an, run lah!

- Kalau beli di pasar harganya receh, tapi kalau nanam sendiri… rasanya ulalaaa berharga banget.

- Kangkung bangkok itu cakep, daunnya besar, batangnya gagah, cocok difoto (penting).

Dan yang paling penting, aku penasaran:

“Kenapa namanya bangkok? Emang dia pernah travelling?”

Ternyata bukan. Itu cuma jenisnya aja. Tapi gapapa, yang penting terlihat lebih “premium”.

Rooftop: Surga Mini sekaligus Arena Gladiator

Kangkungku ditanam di rooftop yang notabene luas dan terbuka. 

Kedengarannya sih menyenangkan, kayak punya kebun di atas dunia, tapi kenyataannya mirip arena gladiator, karena: 

- Anginnya kenceng, kadang sampai daun melambai-lambai kayak artis dangdut.

- Mataharinya super niat, bisa bikin tanaman cepat tumbuh tapi juga cepat lemas kalau lupa disiram.

- Hujan tiba-tiba? Wah, itu boss level.

Walaupun begitu, aku tetap cinta rooftop ini. 

Disinilah konsep urban farming hidup. 

Baca juga: Daur Hidup Pertanian dan Peternakan di Rumah: Siklus yang Tak Pernah Berakhir

Bukan sekadar nanam buat gaya-gayaan, tapi juga buat membuktikan bahwa lahan sekecil apapun bisa jadi sumber kebahagiaan, asal mau kreatif.

Dan tentu saja, semua tanaman di rooftop-ku 100% organik. 

No kimia, no drama residu, no pusing mikirin efek samping.

POC: Pupuk Ajaib yang Bikin Kangkung Montok

Aku pakai POC (Pupuk Organik Cair) homemade dari fermentasi sisa dapur. 

Mulai dari air cucian beras, kulit bawang, daun sisa masak, sampai ampas sayur, semua didaur ulang biar gak jadi sampah sia-sia.

Pokoknya full zero waste.

Sampah dapur tidak pergi ke tempat sampah, tapi naik pangkat jadi nutrisi tanaman.

Dan hasilnya?

Kangkungnya tumbuh dengan percaya diri. 

Daun lebar, warna hijau pekat, dan batangnya… aduh, montok banget. 

Rasanya setiap kali lihat tanaman itu, aku pengen bilang:

“Adeeek, jangan gede-gede amat. Nanti takut sombong.”

Setiap tiga hari sekali, POC kusiramkan dengan penuh kasih sayang. 

Dan seperti biasa, si kangkung merespons dengan pertumbuhan super gesit. 

Aku sampai heran, “Ini kangkung atau anak kecil yang baru disuruh makan sayur?”

Perawatannya: Dari Disiram Sampai Disayang

Merawat kangkung ternyata jauh lebih santai daripada merawat tanaman lain, bukan malika yang dibesarkan seperti anak tiri, ehhh salah...

 Kangkung itu chill banget, yang penting:

  • Dapat air cukup

  • Dapat sinar matahari

  • Sesekali disemprot pestisida nabati biar gak diganggu serangga

Yups, aku juga bikin pestisida nabati sendiri: dari bawang putih, daun sirsak, atau air cabai. 

Yang penting, semuanya organik. 

Baca juga: Kebun dan Ternak Rumahan, Kita Usahakan Mandiri Pangan

Serangga cuma datang, cicip sedikit, lalu sadar bahwa “ini tanaman sehat, terlalu kuat untuk kami.”

Walaupun begitu, ada masa-masa di mana kangkungku sedikit tersinggung sama cuaca. 

Pernah suatu hari angin rooftop terlalu niat, sampai beberapa daun miring kayak habis disuruh ikut lomba balap barongsai deh. 

Tapi karena mereka kuat, semuanya balik sehat lagi.

Hari Panen: Saat Recehan Berubah Jadi Emas Emosi

Panen Kangkung

Setelah beberapa minggu, tibalah hari panen. 

Aku naik ke rooftop sambil bawa pisau dan gunting, feeling excited kayak mau mengambil rapor waktu SD.

Dan jreeeng kangkung bangkokku tumbuh subur banget.

Lebarnya, tingginya, warnanya… semuanya cakeep.

Saat mulai memanen, ada rasa pride yang sulit dijelaskan. 

Bukan karena kangkungnya mahal, tapi karena aku menanamnya dari nol.

Tiap batang yang kupotong rasanya seperti:

“Ya ampun, ini hasil kerja keras aku sendiri!”
“Ini bukan kangkung biasa. Ini kangkung PREMIUM!”

Kalau beli di pasar? Harga cuma seribu dua ribu.
Kalau panen sendiri?
Berasa panen emas hijau.

Aku tahu ini terdengar lebay, tapi perasaan bahagianya itu nyata. 

Rasanya seperti semua siraman, semua cek kondisi daun, semua semprotan POC… terbayar lunas.

Bahkan aku sempat foto-foto kangkung hasil panen. 

Bukan soal pamer, tapi buat dokumentasi kenangan manis antara aku dan tanaman, galon bekas, POC gratisan, dan sedikit cinta.

Masak Sendiri = Nilai Bahagia Naik 300%

Tumis Kangkung

Begitu masuk dapur, kangkung rooftop ini langsung naik level lagi. 

Dibuat tumis bawang putih sederhana aja udah nikmat. 

Rasanya renyah, segar, dan entah kenapa beda dari kangkung pasar.

Mungkin ini namanya “rasa usaha sendiri”.

Setiap kunyahannya…
“Wah, ini hasil keringatku!”

Setiap suapan…
“Inilah kebahagiaan versi urban farming.”

Dan sejak hari itu, aku makin yakin:
Urban farming bukan cuma aktivitas, tapi terapi hati.
Bikin kita sabar, menghargai proses, dan bahagia dengan hal-hal kecil.

Kesimpulan ala Emak-Emak Rooftop Farmer

  • Rooftop luas? Tanam dong. Sayang kalau cuma buat jemur baju.

  • Galon bekas? Jangan dibuang. Pot kangkung terbaik justru ditanam disitu.

  • POC? Gunakan yang organik. Tanaman sehat, bumi juga senang.

  • Kangkung bangkok? Receh di pasar, berharga di hati kalau panen sendiri.

  • Urban farming? Seru, menenangkan, dan bikin ketagihan.

Siapa sangka tanaman sederhana seperti kangkung bisa membawa kebahagiaan sebesar ini?

Kalau nanti panen lagi, kayaknya aku bakal bikin acara syukuran kecil. 

Minimal traktir diri sendiri es teh manis. Kan seger, segernya sama kayak panen kangkung pertama. hihihi***



Kebun dan Ternak Rumahan, Kita Usahakan Mandiri Pangan

Minggu, September 28, 2025 12 Comments

Slow Living dengan Beternak Kambing
Slow Living Beternak dan Bertani

dianti.site- Awalnya sih nggak ada niat serius banget untuk mandiri pangan dari rumah.

Cuma karena lihat peluang aja, dan aku sempatkan waktunya jadilah seperti hari ini. 

Rumahku punya atap beton yang luas banget, ada kolam di bawah rumah yang nganggur, sama halaman samping yang lumayan lah daripada nganggur. 

Dari situlah perjalanan kemandirian pangan ala-ala aku dimulai.

Nggak muluk-muluk, aku cuma pengen rumahku bisa jadi sumber pangan sederhana. 

Eh ternyata lama-lama malah jadi kayak mini-farm. 

Serius, tiap bangun tidur sekarang bukan cuma buka jendela, tapi sekalian cek hewan-hewan, siram tanaman-tanaman, sama intip ikan di kolam.

Atap Beton Jadi Kebun Hijau

Tanam Kangkung di Pot

Dulu atap beton rumahku cuma jadi tempat jemur pakaian. 

Panas, gersang, dan yaa gitu-gitu aja. 

Suatu hari aku mikir, “Lha, ini luas banget kenapa nggak aku manfaatin buat nanam sayur?”

Ditambah lagi limbah galon bekas air mineral makin hari makin banyak 

Akhirnya aku sulap limbah galon bekas jadi pot tanaman dengan konsep self watering.

Soal media tanam pun sebenarnya udah melimpah dari kandang ayam dan kandang kelinci, jadi tunggu apalagi?

Akhirnya aku mulai nanam sayuran favorit. 

Ada kangkung yang gampang banget tumbuh, timun buat lalapan, tomat sampai cabe biar nggak khawatir kalau harga di pasar naik. 

Baca juga: Rapihin Bulu dan Daun, Ritual Receh Anti-Anxiety

Aku juga coba tanam bawang daun, seledri, plus beberapa tanaman panjang umur kayak jagung, kacang merah, kacang panjang, dan kacang buncis.

Atap beton yang tadinya panas dan bikin mata silau, sekarang berubah jadi kebun hijau yang adem. 

Rasanya tiap sore aku betah nongkrong di atas, sambil nyiram tanaman dan lihat mereka tumbuh.

Kolam Bawah Rumah jadi Lumbung Ikan

Budidaya Lele

Di bawah rumah ada kolam kecil yang dulu sering dipakai cuma buat nampung air hujan. 

Makin kesini malah jentik nyamuk tumbuh liar.

Aku mikir cara membasmi jentik tersebut tapi gak pake zat kimia.

Alhasil setelah diskusi dengan suami, kami memutuskan untuk menabur bibit ikan nila merah sebagai musuh alami jentik-jentik nyamuk.

Cuma karena kolamnya tidak mendapat cahaya matahari optimal, jadi pertumbuhan nila pun gak sesuai harapan.

Usaha gak berhenti sampai itu aja, setelah ikan nila dipanen, digantilah dengan bibit ikan lele dan patin.

Aku pilih lele sama patin karena gampang banget dirawat dan tahan banting.

Sekarang kalau malam-malam pengin makan ikan goreng, aku nggak perlu ke pasar. 

Tinggal jala, ambil lele dari kolam, langsung masak. 

Segarnya dapet, hematnya juga kerasa. 

Kadang kalau ada teman main ke rumah, mereka suka takjub, “Serius ini lele dari bawah rumahmu?” dan aku cuma bisa nyengir bangga.

Halaman Samping Jadi Kandang Ternak

Ayam Elba

Halaman samping rumah juga nggak mau kalah. 

Aku bikin kandang kecil-kecilan buat hewan peliharaan. 

Awalnya cuma lima ekor, eh sekarang jadi banyak. 

Tiap pagi aku bisa panen telur segar buat sarapan. 

Rasanya beda banget sama telur beli di pasar, kayak lebih gurih, lebih “hidup” aja.

Selain ayam, aku coba tambah koleksi unggas. 

Ada kalkun yang badannya gede dan bikin halaman makin rame, merpati yang awalnya aku pelihara gara-gara dikasih tapi ternyata dagingnya enak juga, dan kelinci yang lucu banget tapi juga cepat berkembang biak.

Puncaknya aku nekat pelihara domba tapi dibantu ngurus sama tetangga. 

Jujur, awalnya agak bingung, tapi ternyata mereka cukup gampang dirawat. 

Domba-domba itu aku kasih makan rumput sekitar rumah, jadi nggak terlalu ribet soal pakan. 

Baca juga: Cerita Me Time yang Nggak Kamu Sangka dari Seekor Kalkun

Emmm... Karena udah ada yang bantu ngurus juga sih kalo domba.

Dan tiap lihat domba ngemil dengan santai, rasanya damai banget.

Saling Melengkapi, Nggak Ada yang Sia-Sia

Salah satu hal paling seru adalah ternyata semuanya saling mendukung. Misalnya:

Kotoran ayam, domba, dan kelinci bisa jadi pupuk buat tanaman di atap.

Sisa sayuran yang layu aku kasih ke kelinci, mereka lahap banget.

Air kolam lele aku pakai buat siram tanaman, jangan salah! nutrisinya kaya banget.

Jadi, dari ternak ke kebun, dari kebun ke ternak, semuanya muter. 

Nggak ada yang sia-sia sama sekali.

Hidup Jadi Lebih Bermakna

Banyak banget manfaat yang aku rasain sejak mulai mandiri pangan.

Belanja dapur lebih hemat, karena beberapa kebutuhan memang sudah tersedia di rumah.

Makanan lebih sehat, aku tahu persis apa yang masuk ke ayam, domba, dan sayuran.

Nggak panik harga naik, cabe mahal? Santai aja, tinggal petik.

Punya hiburan baru, daripada main HP terus, sekarang aku lebih sering main sama kelinci atau sama ayam.

Tapi paling sering sih nguyel-nguyel kucing yang emang di adopsi khusus buat nemenin aku di rumah.

Dan yang penting, aku ngerasa lebih “merdeka”. 

Rasanya tenang banget tahu kalau di rumah sudah ada stok pangan sendiri.

Tips Buat yang Pengen Ikut Coba

Kalau kamu kepikiran buat mandiri pangan juga, jangan langsung besar, tapi mulai dari hal kecil. 

Misalnya tanam kangkung di pot atau pelihara ayam kampung sepasang. 

Dari situ nanti kamu bakal ketagihan sendiri.

Jangan takut gagal, aku pun sering kok, tanaman layu, ayam sakit, atau lele mati. 

Namanya belajar pasti ada jatuh-bangunnya, yang penting jangan berhenti! Lama-lama bakal terbiasa.

Sekarang aku sadar, punya atap beton luas, kolam di bawah rumah, dan halaman samping ternyata rezeki besar. 

Daripada kosong dan nggak kepakai, lebih baik dimanfaatkan. 

Dari situ lahirlah mini farm versiku: ada ayam, kalkun, merpati, kelinci, domba, ikan lele, ikan patin, plus kebun sayuran di atap yang hijau.

Aku nggak bilang ini mudah, tapi percayalah, hasilnya bikin hati puas. 

Rasanya kayak punya lumbung pangan sendiri, langsung di rumah. 

Dan aku yakin, kalau aku bisa, kamu juga bisa. 

Mulai aja dari satu pot cabe atau satu ekor ayam, siapa tahu nanti berlanjut jadi mini farm yang bikin hidupmu lebih bahagia.***


Calvin Verdonk: Loopy Imut dengan Stamina 3 Paru-paru, El Konsisten di Timnas Indonesia

Senin, September 22, 2025 0 Comments
Calvin Verdonk di Timnas Indonesia

dianti-site- Kalau ada pemain Timnas Indonesia yang sukses bikin netizen jatuh hati bukan cuma karena skill, tapi juga vibes-nya, jawabannya jelas Calvin Verdonk. 

Bek kiri naturalisasi ini punya wajah imut kayak karakter Loopy.

Eitss tapi jangan salah, di lapangan dia berubah jadi mesin lari dengan stamina yang kayak nggak habis-habis. 

Nggak heran kalau fans kasih dia julukan “si pemain tiga paru-paru”.

Lucunya, ada juga yang bercanda, “Kayaknya bukan tiga deh, tapi lima paru-paru sekalian.” 

Intinya, stamina Calvin Verdonk udah level next gen. 

Dari awal pertandingan sampai peluit akhir, dia jarang banget kelihatan ngos-ngosan.

Rahasia Stamina Calvin Verdonk: Latihan Bareng Kakak

Banyak yang penasaran, kok bisa sih Calvin segitu kuatnya lari sepanjang pertandingan? 

Ternyata rahasianya ada di keluarga. 

Kakak Calvin Verdonk, Darryl Verdonk, adalah seorang kickboxer profesional asal Belanda yang pernah juara di Enfusion dan tampil di K-1.

Sejak kecil, Calvin Verdonk sering ikut-ikut latihan bareng sang kakak. 

Jangan bayangkan sekadar jogging atau latihan fisik standar sepak bola. 

Latihan kickboxing itu keras: ada circuit training, drills pukulan & tendangan, conditioning ekstrem, plus teknik pernapasan buat ningkatin kapasitas paru-paru. 

Pola latihan ini ikut membentuk daya tahan tubuh Calvin Verdonk.

Hasilnya? Saat pemain lain ngos-ngosan, Calvin Verdonk masih bisa sprint bolak-balik seakan ada tombol recharge otomatis. 

Baca juga: Kembar di Lapangan: Dari Tachibana Kyodai sampai Sayuri Bersaudara

Fans pun makin yakin: stamina luar biasa Calvin Verdonk sebagian besar diwariskan dari DNA atletik keluarga plus lingkungan latihan yang super disiplin.

Si Pemain yang Jarang Bicara

Kalau diperhatiin, Calvin Verdonk bukan tipe pemain yang banyak omong. 

Dia nggak suka terlalu sering tampil heboh di media. 

Lebih kalem, jarang kasih statement panjang, dan cenderung low profile. 

Tapi justru karena itu, dia punya pesona berbeda.

Fans bahkan kasih julukan baru: El Konsisten. 

Kenapa? Karena hampir di setiap pertandingan, performa Calvin stabil di level tinggi. 

Nggak ada drama, nggak ada tiba-tiba drop. 

Dia selalu main dengan disiplin, rapi, dan efektif. 

Jadi meski bukan pemain yang paling sering mencetak gol, kehadirannya bikin sisi kiri Timnas Indonesia selalu aman.

Lebih dari Sekadar Bek Kiri di Timnas Indonesia 

Posisi bek kiri sering dipandang sebelah mata dibanding striker atau gelandang kreatif. 

Tapi Calvin Verdonk berhasil bikin posisi ini naik level. 

Dia bukan cuma bertahan, tapi juga aktif bantu serangan dengan overlap dan crossing.

Contoh jelasnya pas Indonesia lawan Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026. 

Meski kalah tipis, performa Calvin Verdonk dapat banyak pujian. 

Beberapa kali dia nutup ruang berbahaya, tapi juga masih sempat bikin tekanan ke sisi lawan. 

Dari situ makin terlihat: stamina + disiplin Calvin adalah aset besar Timnas.

Branding Calvin Verdonk ala Netizen Indonesia 

Wajah Calvin yang imut dengan senyum tipisnya bikin fans langsung ngasih label “Loopy”. 

Meme pun berseliweran: ada yang edit fotonya ke versi Loopy tapi lari bolak-balik di lapangan.

Bedanya, kalau Loopy terkenal rakus makan, Calvin rakus lari. 

Tambahin lagi branding “3 paru-paru” hasil kreativitas netizen Indonesia, lengkaplah paket pemain idola: wajah imut, stamina dewa, performa konsisten.

Konsistensi Jadi Modal Utama Calvin Verdonk 

Kalau ditanya apa kekuatan terbesar Calvin Verdonk, jawabannya bukan cuma stamina, tapi konsistensi. 

Banyak pemain bisa tampil bagus di satu-dua pertandingan, tapi mempertahankan performa stabil sepanjang musim? Itu lebih susah.

Konsistensi ini jelas nggak datang tiba-tiba. 

Pola latihan keras bareng kakaknya di dunia kickboxing terbukti nular ke sepak bola.

Kickboxing itu menuntut disiplin hidup: dari pola makan, jadwal latihan, sampai recovery. 

Semua itu ikut membentuk mental Calvin yang disiplin, sehingga tiap kali turun di lapangan, levelnya jarang turun.

Simbol Era Baru Timnas Indonesia 

Calvin Verdonk bergabung dengan Timnas Indonesia sejak era kepelatihan Shin Tae-yong.

Sementara itu, Pelatih Shin Tae-yong dikenal suka gaya main intens: pressing ketat, transisi cepat, dan stamina level tinggi. 

Filosofi itu pas banget dengan gaya Calvin Verdonk. 

Di sisi kanan ada Asnawi Mangkualam atau Yakob Sayuri yang juga penuh energi, sedangkan sisi kiri sekarang punya Calvin Verdonk yang sama aktifnya.

Ini bikin lawan pusing karena kiri-kanan sama-sama jadi ancaman. 

Plus, dengan stamina “3 paru-paru”, Calvin Verdonk bisa main sesuai tuntutan pelatih tanpa terlihat kelelahan. 

Jadi bukan cuma sekadar tambahan di Timnas Indonesia, dia adalah elemen kunci dalam strategi besar Garuda.

Loopy, 3 Paru-paru, dan El Konsisten

Calvin Verdonk udah lebih dari sekadar naturalisasi. 

Dia berhasil bikin fans jatuh hati lewat kerja keras, disiplin, dan performa stabil di lapangan. 

Julukan “3 paru-paru” dan “El Konsisten” bukan cuma guyonan netizen, tapi pengakuan akan kualitasnya.

Dengan wajah Loopy yang imut, stamina hasil latihan keras bareng kakak kickboxer, plus mental disiplin, Calvin Verdonk jelas udah jadi salah satu pemain paling dicintai di Timnas Indonesia. 

Fans boleh bercanda soal “paru-paru ekstra”, tapi di balik itu ada rasa hormat buat pemain yang jarang bicara namun selalu berbicara lewat aksinya.

Kalau terus konsisten, Calvin Verdonk bukan cuma akan jadi bek kiri tangguh, tapi juga salah satu simbol era emas baru sepak bola Indonesia.



Kembar di Lapangan: Dari Tachibana Kyodai sampai Sayuri Bersaudara

Minggu, September 21, 2025 17 Comments
Tachibana Kyodai dan Sayuri Bersaudara 


dianti site- Kalau ngomongin sepak bola dan “si kembar”, pikiran langsung melayang ke anime legendaris Captain Tsubasa. 

Buat generasi 90-an dan 2000-an, duo Tachibana Kyodai alias Masao dan Kazuo Tachibana adalah contoh ultimate dari kekompakan saudara kembar di lapangan hijau. 

Teknik mereka ikonik banget, kayak Skylab Hurricane atau Skylab Twin Shot, yang mustahil dilakukan di dunia nyata tapi sukses bikin penonton melongo.

Nah, menariknya, kita di Indonesia punya “versi dunia nyata” dari cerita itu. 

Mereka adalah Sayuri Bersaudara: Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, kembar asli Papua yang belakangan sering jadi bahan obrolan fans bola Tanah Air. 

Bedanya, kalau Tachibana cuma bisa kita lihat di layar kaca anime, Sayuri bersaudara beneran bisa kita tonton di stadion atau di layar TV saat mereka main buat klub maupun Timnas.

Kompak Kayak Nempel Lem

Salah satu hal yang bikin duo kembar di sepak bola jadi spesial adalah chemistry alami mereka. 

Tachibana Kyodai di anime sering diceritain seolah punya telepati: yang satu lompat, satunya lagi langsung tahu kapan harus nyundul atau nendang. 

Nah, vibes itu juga kerasa dari Yakob dan Yance.

Yakob biasanya main lebih ofensif, sering menusuk dari sisi sayap atau nyelinap ke kotak penalti. 

Yance punya peran mirip, tapi lebih fleksibel, bisa bantu transisi dan kasih variasi serangan. 

Intinya, mereka kayak punya jam main yang sinkron. 

Kalau orang lain butuh waktu buat bangun chemistry, Sayuri bersaudara sudah lahir dengan itu.

Momen Spesial di FIFA Matchday Timnas Indonesia vs Burundi

Salah satu laga memorable tentu pas Timnas Indonesia lawan Burundi di FIFA Matchday Maret 2023. 

Di pertandingan itu, Yakob Sayuri mencetak gol pembuka lewat sundulan cantik hasil umpan Stefano Lilipaly. 

Gol itu jadi sorotan karena nggak cuma penting buat kemenangan 3-1 Garuda.

Tapi juga karena di momen yang sama, kembarannya, Yance Sayuri, akhirnya debut di Timnas senior.

Banyak media sempat heboh menyebut “kembar Sayuri kompak di Timnas”.

Walaupun faktanya gol hanya dicetak Yakob, momen itu tetap terasa “kompak”.

Karena untuk pertama kalinya kita bisa lihat dua kembar asli Papua sama-sama mengenakan jersey merah putih di level senior. 

Aura anime Captain Tsubasa seolah kebawa ke dunia nyata.

Fans langsung kebayang adegan Tachibana Kyodai di lapangan. 

Bedanya, Yakob dan Yance nggak pakai salto bareng-bareng, tapi kontribusinya tetap berasa. 

Yakob bikin gol, Yance memberi energi baru lewat kecepatan dan pressing. 

Jadi walaupun belum barengan bikin gol, vibe “double trouble” udah muncul banget.

Hat-trick Si Kembar di Malut United

Kalau di Timnas mereka belum benar-benar bikin gol barengan di satu pertandingan, di level klub ceritanya beda. 

Di musim Liga 1 2024/2025, Sayuri Bersaudara bikin sejarah.

Yakob Sayuri berhasil bikin hat-trick waktu Malut United menang 3-1 lawan Persis Solo (pekan ke-28).

Nggak mau kalah, Yance Sayuri juga bikin hat-trick di laga Malut United vs PSIS Semarang menang 5-1 (pekan ke-33).

Oke, memang bukan “satu laga, dua kembar, dua gol” kayak bayangan Captain Tsubasa. 

Tapi tetap aja Sayuri Bersaudara keren banget. 

Di satu musim yang sama, dua saudara kembar bisa sama-sama bikin hat-trick untuk klub yang sama. 

Itu jarang banget terjadi di sepak bola dunia, apalagi di Liga 1. 

Bisa dibilang, mereka lagi-lagi berhasil kasih vibe Tachibana Kyodai ke fans Indonesia.

Ikonik Karena Keunikannya

Persamaan lain antara Tachibana Kyodai dan Sayuri Bersaudara ada di “keunikan”. 

Kalau Tachibana mencolok dengan jurus salto dan atraksi udara, Sayuri bersaudara unik dengan energi dan gaya main eksplosif khas Papua. 

Yakob sering jadi ujung tombak serangan, sementara Yance bisa ngacak-ngacak sisi sayap dengan dribelnya. 

Jadi meskipun nggak identik cara mainnya, mereka saling melengkapi.

Sama-sama Membawa Nama Bangsa

Tachibana Kyodai selalu all out buat Jepang, bahkan sampai rela pasang badan di lapangan demi kemenangan. 

Nah, Yakob dan Yance juga punya semangat sama: bangga bawa nama Indonesia. 

Mereka jadi kembar pertama yang pernah sama-sama tampil di Timnas senior. 

Itu bukan cuma sejarah buat mereka berdua, tapi juga kebanggaan buat fans sepak bola Indonesia.

Bayangin aja, anak Papua bisa tembus ke level tertinggi, barengan lagi sama saudara kembarnya. 

Inspiratif banget buat generasi muda yang bercita-cita main bola.

Duo yang Bikin Lawan Pusing

Intinya, baik di dunia anime maupun dunia nyata, “duo kembar” selalu berhasil bikin lawan pusing. 

Tachibana Kyodai jadi legenda fiksi, sementara Sayuri bersaudara adalah real deal yang bisa kita saksikan langsung di lapangan.

Bedanya jelas: Tachibana bisa terbang dan bikin gol salto bareng, Sayuri bersaudara fokus ke hal-hal realistis kayak speed, stamina, dan kerjasama. 

Tapi efeknya sama: bikin lawan deg-degan setiap kali mereka pegang bola.

Chemistry Itu Kekuatan

Dari Captain Tsubasa sampai ke Liga 1, satu hal yang nggak bisa dipungkiri adalah kekuatan chemistry antar kembar. 

Itu bukan sekadar cerita, tapi realita yang bisa jadi senjata rahasia di lapangan.

Tachibana Kyodai menghibur kita lewat jurus-jurus akrobatik. 

Sayuri bersaudara menginspirasi lewat kerja keras dan dedikasi buat Indonesia. 

Dua-duanya membuktikan bahwa sepak bola bukan cuma soal skill individu, tapi juga soal koneksi, komunikasi, dan kekompakan.

Dan siapa tahu, suatu hari nanti kita benar-benar lihat Yakob dan Yance “kompak bikin gol” di satu laga Timnas Indonesia. 

Kalau itu kejadian, fix vibes Tachibana Kyodai bakal terasa banget di lapangan hijau Indonesia.***


Rapihin Bulu dan Daun, Ritual Receh Anti-Anxiety

Rabu, Agustus 13, 2025 0 Comments

Anti Anxiety


dianti site- Kalau kamu mikir anti-anxiety itu cuma bisa dari yoga, meditasi, atau staycation, coba deh upgrade mindset. 

Sekarang aku udah nemu resep ampuh yang nggak kalah healing, yaitu rapihin bulu dan daun. 

Yes, ini bukan metafora, ini literally nyisir bulu hewan peliharaan dan merapikan daun tanaman setiap hari.

Awalnya, aku kira kegiatan ini cuma hobi lucu-lucuan aja. 

Tapi ternyata, efeknya tuh ngena banget ke mental health. 

Anxiety yang dulu sering datang kayak iklan pop-up nggak jelas, sekarang makin jarang nongol.

Dari Gedebak-gedebuk ke Yaudahlah Jalanin Aja

Ibarat kata, perubahan dalam diri aku tuh dari genre yang gedebak-gedebuk dar der dor jadi jalanin aja dulu.

Kalo jalan aja dulu tanpa tujuan dan kepastian??? Red flag tuh (canda) ✌️

Dulu aku tipe orang yang ambisius parah.

Target hidup itu harus detail, harus kejadian sesuai rencana. 

Kalau nggak, otak langsung error, hati nggak tenang, dan tidur pun jadi drama.

Tapi semua mulai berubah waktu aku pindah ke pinggiran kota Tasikmalaya. 

Rumahku nggak fancy, tapi halamannya cukup buat pelihara hewan dan tanam sayuran. 

Aku punya ayam kampung, kalkun, merpati, lovebird, kucing, kelinci… plus kebun mini berisi kangkung, cabai, kacang, sampai tanaman hias di pot.

Setiap pagi, ritualnya selalu sama, yaa nyisir bulu hewan biar nggak kusut, ngecek daun yang layu, motong daun yang udah tua, nyapu kandang, dan siram tanaman. 

Baca juga: Daur Hidup Pertanian dan Peternakan di Rumah: Siklus yang Tak Pernah Berakhir

Sounds simple, tapi rasanya kayak soft reset buat otak.

Kenapa Bulu dan Daun Bisa Jadi "Obat" Anti-Anxiety?

Ternyata, ada alasannya kenapa kegiatan ini bikin hati adem:

1. Gerakan Rutin = Meditasi Terselubung

Nyisir bulu kelinci atau kucing itu bikin fokus. 

Suara ssrrk-ssrrk dari sisir, bulu yang rapi satu per satu… rasanya bikin pikiran tenang. 

Ini sama kayak orang yang merajut atau ngecat, cuma versinya lebih feather-friendly.

2. Sense of Achievement

Lihat bulu hewan jadi rapi atau tanaman jadi segar setelah dibersihin itu bener-bener memuaskan. 

Ada rasa "Yes, aku berguna hari ini!" tanpa harus nyelesain target kerja yang ribet.

3. Koneksi Emosional

Hewan dan tanaman itu merespons perhatian kita, serius deh. 

Hewan jadi manja, tanaman jadi subur. 

Dan ketika mereka tumbuh sehat, kita juga ikut merasa dihargai.

4. Mindfulness Natural

Merhatiin detail warna daun, tekstur bulu, atau aroma tanah basah bikin kita hadir penuh di momen itu. 

Anxiety biasanya muncul karena pikiran lari ke masa depan atau masa lalu, dan kegiatan ini narik kita balik ke "sekarang".

Capek Tapi Bikin Tidur Nyenyak

Jujur, ngurusin hewan dan tanaman setiap hari itu bikin pegel. 

Ada keringat, ada bau kandang, ada tangan kotor. 

Tapi justru itu yang bikin badan capek dengan cara sehat. 

Malamnya, tidur jadi lelap tanpa drama overthinking.

Tips Buat Kamu yang Mau Coba Resep Ini

Biar kegiatan ini nggak cuma jadi "niat doang", cobain trik ini:

Mulai dari Kecil

Nggak harus langsung punya kebun besar atau peternakan mini. 

Cukup pelihara satu ekor kucing atau punya tiga pot tanaman hias.

Jadwalin Waktu

Misalnya pagi sebelum kerja atau sore sebelum magrib. 

Kegiatan ini bakal jadi ritual wajib yang bikin kamu selalu punya jeda dari dunia digital.

Nikmati Prosesnya

Jangan buru-buru! rasain tekstur bulu, hirup aroma daun segar. 

Treat it as me time, bukan beban.

Kesimpulannya yaaa "Healing Nggak Harus Mahal"

Rapihin bulu dan daun mungkin kedengeran receh. 

Tapi buat aku, ini udah jadi life hack yang bikin anxiety turun drastis. 

Dari pinggiran kota, aku belajar kalau ketenangan nggak datang dari liburan mewah, tapi dari momen sederhana yang kita jalani setiap hari.

Jadi kalau besok kamu lagi suntuk, coba aja ambil sisir, rapihin bulu hewan peliharaanmu, atau petik daun kering di pot. 

Siapa tahu, ketenangan yang kamu cari udah ada di halaman rumah sendiri.*



Best Moment Blogging Bagiku si Pelaku Slow Living dan Ternak Polikultur Unggas

Selasa, Maret 25, 2025 0 Comments

dianti.site- Di era digital yang semakin berkembang, blogging telah menjadi salah satu bentuk ekspresi diri. 

Bagiku yang merupakan salah satu pelaku slow living dan peternak polikultur unggas, blogging bukan sekadar aktivitas menulis, tetapi juga menjadi sarana untuk mengabadikan perjalanan hidup dengan lebih sadar. 

Menulis blog tentang pengalaman sehari-hari tidak hanya memberikan manfaat pribadi, tetapi juga berkontribusi dalam membangun komunitas yang lebih luas.

Slow living menurutku merupakan filosofi hidup yang menekankan pada kesadaran penuh dalam menikmati setiap momen yang bahkan sebagiannya menjadi rutinitas harian.

Begitu pula dengan peternakan polikultur unggas, yang mengajarkan keseimbangan ekosistem dan kesabaran dalam mengelola kehidupan ternak. 

Dengan menggabungkan keduanya dalam sebuah blog, aku berusaha menciptakan catatan perjalanan yang berharga dan berdampak positif bagi kesehatan mental.

Blogging sebagai Sarana Mengabadikan Momen Berharga

Bagiku si pelaku slow living dan peternak unggas polikultur, setiap momen memiliki makna tersendiri. 

Blogging menjadi cara untuk mendokumentasikan perjalanan ini agar tidak hilang begitu saja dalam ingatan. 

Berikut beberapa alasan mengapa blogging menjadi cara terbaik untuk mengabadikan momen:

Refleksi Diri

Menulis tentang pengalaman sehari-hari memungkinkan aku untuk merefleksikan apa yang telah dilalui. 

Ketika menuliskan perjalanan dalam beternak unggas, sangat memungkinkan kembali untuk dapat melihat kembali perkembangan yang telah dicapai, tantangan yang berhasil diatasi, dan pelajaran berharga yang didapat.

Dokumentasi Perjalanan Ternak

Dalam polikultur unggas, setiap unggas memiliki karakter unik yang menarik untuk diperhatikan. 

Ada momen ketika ayam kampung mulai bertelur untuk pertama kali, kalkun yang menunjukkan perilaku sosialnya, atau merpati yang mulai terbiasa dengan lingkungan barunya. 

Semua kejadian ini tentu menjadi cerita menarik yang layak diabadikan dalam blog.

Interaksi dengan Alam dan Hewan

Blogging juga menjadi sarana untuk menceritakan pengalaman berinteraksi dengan alam dan hewan. 

Peternakan polikultur unggas bukan sekadar tentang produksi, tetapi juga tentang memahami ritme alam dan membangun hubungan yang harmonis dengan hewan ternak.

Dampak Positif Blogging bagi Kesehatan Mental

Selain sebagai dokumentasi perjalanan, blogging memiliki dampak besar dalam meningkatkan kesehatan mental. 

Ya, ternyata sering berinteraksi dengan hewan ternyata menjadi salah satu sumber relaksasi bagi pikiran.

Berikut ini beberapa manfaat utama blogging bagi kesehatan mental yang sudah aku rasakan:

Mengelola Stres dan Kecemasan

Menulis adalah bentuk terapi yang dapat membantu mengurangi stres dan kecemasan. 

Ketika menuliskan pengalaman, perasaan yang sebelumnya terasa berat bisa menjadi lebih ringan.

Baca juga: Rutinitas Pagi Sore dalam Pemeliharaan Sistem Polikultur Unggas

Menumbuhkan Rasa Syukur

Blogging juga sangat memungkinkanku untuk lebih sadar terhadap hal-hal kecil yang sering terlewatkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Dengan menuliskan pengalaman unik dalam beternak unggas dan menjalani hidup secara perlahan,  ternyata aku bisa berlatih dan terus belajar untuk bisa lebih menghargai setiap momen yang terjadi.

Membangun Komunitas dan Koneksi

Blogging tidak hanya tentang menulis untuk diri sendiri, tetapi juga tentang berbagi pengalaman dengan orang lain. 

Melalui blog, ternyata aku bisa bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama, bertukar ide, serta saling memberikan motivasi.

Kisah Bahagia Merawat Unggas dan Mengabadikannya dalam Blog

Menjalani slow living dengan merawat unggas adalah pengalaman yang penuh kehangatan dan kejutan menyenangkan. 

Setiap hari membawa cerita baru, dari momen pertama memulai peternakan hingga kejadian-kejadian kecil yang mengundang tawa.

Aku masih ingat saat-saat pertama memulai beternak 2 ekor ayam, hingga akhirnya menjadi polikultur unggas. 

Suasana pagi yang sejuk, suara kokok ayam bercampur dengan kelembutan angin yang menyapu dedaunan. 

Aku merasa hidup lebih dekat dengan alam, membuka kandang ayam kampung untuk pertama kali dan melihat mereka dengan penasaran menjelajahi pekarangan membuatku tersenyum. 

Setelah itu, aku menyadari bahwa setiap langkah kecil dalam perjalanan ini adalah sesuatu yang layak diceritakan.

Di hari-hari berikutnya, aku menemukan banyak kejadian unik dan lucu. 

Ada satu kalkun yang bertingkah seperti manja, mengikutiku kemana-mana, hingga sekarang pun demikian. 

Merpatiku juga punya kebiasaan unik, mereka suka terbang mengikuti langkahku seolah menganggapku bagian dari kawanan mereka. 

Kadang aku mengabadikan momen ini dalam foto dan video, kebahagian yang didapat dari hewan ternak ternyata terasa hangat.

Namun tidak semua hari berjalan mulus, ada saat ketika cuaca ekstrem membuatku harus bekerja lebih keras untuk memastikan unggasku tetap sehat. 

Pernah suatu kali ayam-ayamku tampak kurang bersemangat, bahkan beberapa diantaranya mati.

Setelah beberapa hari mengamati serta mencari solusi, aku menemukan bahwa mereka membutuhkan asupan makanan tambahan di musim hujan. 

Mengatasi tantangan seperti ini memberiku kepuasan tersendiri, dan menuliskannya dalam blog bukan hanya sebagai dokumentasi.

Tetapi juga sebagai pengingat bahwa setiap rintangan bisa dilewati dengan kesabaran.

Yang paling membahagiakan adalah bagaimana slow living mengubah cara pandangku terhadap kehidupan. 

Dulu, aku selalu terburu-buru, tetapi sekarang aku lebih menikmati setiap proses. 

Aku tidak hanya merawat unggas, tetapi juga menikmati setiap interaksi kecil yang terjadi setiap hari. 

Dari kebiasaan ayam yang mencari tempat favorit untuk bertelur hingga momen saat kalkunku perlahan menjadi jinak dan mulai percaya padaku. Semua ini terasa begitu berharga.

Mengabadikan pengalaman ini dalam blog adalah bagian dari kebahagiaan itu sendiri. 

Aku bisa melihat kembali cerita-cerita yang sudah kutulis dan merasakan kembali momen-momen tersebut seolah baru terjadi kemarin. 

Lebih dari itu, berbagi cerita ini dengan pembaca yang memiliki ketertarikan yang sama menciptakan rasa kebersamaan yang luar biasa.

Baca juga: Manajemen Polikultur Unggas: Efisiensi Pakan, Perilaku, dan Pencegahan Konflik

Trik yang Aku Lakukan untuk Blogging dan Mengabadikan Momen Slow Living dengan Unggas

Menjaga konsistensi dalam menulis blog bukan hal yang mudah, terutama saat sibuk dengan kegiatan peternakan dan menjalani filosofi slow living

Berikut beberapa trik yang aku lakukan agar tetap bisa menulis blog dengan nyaman dan konsisten:

Menjadikan Blogging sebagai Rutinitas Ringan

Aku tidak memaksakan diri untuk menulis panjang setiap hari. 

Aku hanya mencatat pengalaman harian secara singkat, lalu mengembangkannya menjadi tulisan lebih panjang saat waktu memungkinkan.

Menulis dengan Autentik

Blogging bukan tentang membuat cerita sempurna, tetapi tentang berbagi pengalaman nyata. 

Aku selalu menulis dengan gaya yang mencerminkan kepribadianku agar tulisan terasa lebih natural dan menarik.

Menggunakan Foto dan Video sebagai Pendukung Cerita

Foto dan video menjadi pelengkap dalam blog, terutama untuk menunjukkan perkembangan ternak dan mengabadikan suasana peternakan.

Berinteraksi dengan Pembaca

Aku senang berinteraksi dengan pembaca melalui media sosial. Hal ini membuatku semakin semangat menulis dan merasa bahwa ada komunitas yang mendukung.

Kesimpulan

Ternyata bagiku blogging bukan hanya tentang berbagi pengalaman, tetapi juga tentang mengenali dan merayakan perjalanan hidup. 

Bagi pelaku slow living dan peternak polikultur unggas, blogging adalah cara untuk mengabadikan best moment dengan lebih sadar.