Tampilkan postingan dengan label berkebun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label berkebun. Tampilkan semua postingan

Rooftop Garden Mode Survival di Musim Hujan, Terong Jagoannya

Minggu, November 30, 2025 7 Comments


dianti.site — Ada satu pertanyaan besar yang selalu muncul setiap kali masuk musim hujan.


“Aku ini petani rooftop atau pemain sinetron Indosiar yang tiap sore dijadwalkan meratapi hujan dengan adegan sedih?”


Awalnya niatku mulia, mau merawat kebun biar tetap produktif meski cuaca galau. 


Tapi realitanya?


Musim hujan tuh kayak manusia toxic yang datang tanpa permisi, pergi sesuka hati, dan ninggalin luka menyakitkan.


Mulai Berkebun, Tapi Cuacanya Kayak Lagi Prank


Sebagai pekerja rumahan yang sibuk nyambi jadi tukang spall spill, chef dadakan, dan tetangga yang jarang bersosialisasi, waktu berkebun tuh paling sering cuma sempet sore hari.


Masalahnya…


Setiap aku mau naik ke rooftop jam 4 atau 5 sore, H U J A N.


Bukan gerimis romantis ya besttt… tapi hujan deras tipe “kamu jangan berharap apa-apa dari hidup ini”.


Jadilah setiap sore aku berdiri di depan pintu rooftop sambil melongo, lihat air turun kayak efek slow-mo MV mellow.


“Yaudah deh tanaman… relakan saja nasibmu.”


POC: Dituang Dengan Cinta, Tersiram Ulang Oleh Semesta


Karena masih punya jiwa zero-waste, aku tetep rutin bikin POC dari dapur.


Setiap mau kasih POC, aku selalu semangat membara. 



Bawa wadah, naik ke rooftop, siap menyiram dengan kasih sayang.


Tapi ya itu dia…


Baru nyiram sebentar, langsung hujan.


POC yang kubuat penuh cinta langsung dilarutkan hujan seolah berkata:


“Udah ya, kamu gak usah capek-capek… biar aku yang ambil alih.” –hujan, probably.


Capek banget sumpah! Rasanya kayak ngisi bensin full tank tapi tumpah semua di jalan.


Melon Mati, Kangkung Kutilang, Jagung Kerdil


Mari kita mulai dengan yang paling tragis dulu…


1. Melon Gugur


Si melon kesayangan mati karena terlalu sering kehujanan.


Daunnya lepek, batangnya letoy, apalagi buah-buah kecilnya membusuk, overall vibes-nya… “let me rest”


Aku cuma bisa mengangguk pasrah sambil bilang:


“Best, kamu mati bukan karena gagal… tapi karena cuaca jahat.”


2. Kangkung Kutilang


Kangkungku tumbuh sih tumbuh… tapi ciamik banget alias kutilang: kurus, tinggi, langsing.


Kayak kangkung yang lagi diet ekstrem buat photoshoot cekrek cekrek, wkwkwk


Aku lihat batangnya yang kurus, aku cuma bisa tahan ketawa:


“Ini kangkung atau model runway Jakarta Fashion Week?”


3. Jagung Mini Kurang Gizi


Jagungku sempat berbuah, tapi kecil banget.


Bukan baby corn aesthetic, tapi lebih ke “aku malas tumbuh di cuaca begini.”


Kayak anak sekolah yang dipaksa upacara pas hujan rintik-rintik: hidup ada, tapi semangat nihil.


Gulma Tumbuh Subur


Sementara tanaman utamaku drama semua, gulma justru paling survive.


Daunnya hijau.

Tumbuh cepat.

Pede banget.

Seolah berkata:


“Tenang… kalau tanamanmu mati, aku tetap ada kok.”


Dari semua tanaman, gulma justru yang paling setia. Ironis banget!


Musim Hujan & Risiko Kesamber Petir: Aku Nggak Se-Strong Itu


Pernah kepikiran untuk tetap naik ke rooftop sambil hujan-hujanan?


Pernah.


Tapi setelah mikir:


“Aku mau berkebun atau mau viral di berita?”


Akhirnya aku memilih hidup lebih lama untuk merawat tanaman lain.


Karena ya… siapa juga yang mau berkebun sambil bawa POC, tangan basah, rooftop open air, dan langit kilat-kilat?


Nope.


Aku masih mau hidup bahagia well...


Plot Twist Bahagia: Terong Survive Seolah Kebal Segala Cuaca


Di antara semua tanaman yang menyerah seperti aku tiap lihat saldo e-wallet, ternyata terong adalah MVP musim ini.


Bukan cuma hidup, tapi tumbuh sehat dan berbuah.


Ada terong ungu bulat dan terong hijau bulat, dua-duanya tumbuh gagah tanpa drama.


Aku sampai bengong:


“Serius kalian kuat? Kalian tumbuh di dunia yang sama dengan melonku tadi?”


Terong ini beneran strong independent vegetable.


Akhir Musim, Akhir Drama: Aku Tetap Bertahan


Setelah semua tragedi itu, aku sadar satu hal.


Berkebun di musim hujan itu bukan tentang hasil… tapi tentang mental.


Belajar pasrah, belajar ikhlas, belajar terima kenyataan bahwa tanaman gak selalu sesuai rencana.


Tapi juga belajar senang, karena ada satu-dua tanaman (kayak terong) yang bikin kamu merasa semua usaha gak sia-sia.


Makanya, kalau mau mulai urban farming:


Siap-siap kecewa.


Siap-siap ketawa sendiri.


Siap-siap nyalahin hujan tiap sore.


Tapi juga siap-siap bahagia waktu ada satu tanaman survive kayak pahlawan.


Karena pada akhirnya…


“Kebun mungkin tak terawat, tapi perasaanku minimal tetap sehat,”


Eaaa~



Tanam Melon di Rooftop: Urban Farming Zero Waste yang Drama Banget

Minggu, November 16, 2025 26 Comments


dianti.site- Awalnya tuh simpel banget, aku cuma pengen ikut tren urban farming yang lagi rame di TikTok, niatnya sih healing tapi malah overthinking.

Katanya, kalau nanam tanaman, hidup jadi tenang, udara bersih, hati adem.

Realitanya? Yang adem cuma AC, bestii

Setiap kali liat orang di TikTok panen kangkung, tomat, sawi dari pot bekas, ekspresinya tuh kayak “hidupku damai banget.”

Aku yang nonton ikut termotivasi.

Mikir, “Ah gampang! Tinggal siram, kasih pupuk, panen. Gitu doang kan?”

Hahaha. Salah besar aku bestii.

Sekarang aku sadar, ternyata berkebun itu bukan cuma soal nyiram dan pupuk.

Tapi juga soal mental support karena tanaman tuh punya drama lebih banyak dari FTV sore.

Kalau sedikit aja telat disiram, langsung kayak mau give up on life.


Dari Galon Bekas Jadi Pot

Karena konsepku zero waste, aku gak beli pot baru.

Aku ambil galon bekas air mineral, potong, cat, kasih lubang di bawah, and done.

Hasilnya? Pot besar gratis dan surprisingly cukup kokoh 

Selain lebih hemat, pakai galon itu juga pas banget karena akar melon lumayan panjang. 

Jadi, niat zero waste ini bukan hanya gaya-gayaan, tapi beneran kepake.


Drama Pruning: Ketelatan yang Bikin Bingung

Awal nanam, aku beneran nggak tau kalau melon harus dipruning atau dipangkas. 

Kupikir melon bakal tumbuh rapi sendiri, tinggal disiram dan dipupuk. 

Tapi ternyata enggak! 

Melon tumbuhnya liar banget, merambat ke mana-mana kayak tanaman yang haus kebebasan bertahun-tahun.

Setelah banyak masukan dari orang-orang baik di TikTok, aku sadar kalau idealnya melon itu disisakan satu batang utama supaya fokus tumbuh dan berbuah.

Masalahnya… aku udah telat bangetttt.

Saat sadar, batangnya udah bercabang dua dan sama-sama terlihat “penting”.

Aku bingung harus buang yang mana. 

Akhirnya keputusan paling aman kuambil: dua-duanya kubiarin hidup.

Tidak sesuai aturan, memang.

Tapi yaudahlah learning by doing yakaaan? hihihi.


Baca juga: Rooftop Garden Story, Kangkung Organik dengan Sentuhan Zero Waste


Dari Kutu Daun ke Ulat Misterius

Awalnya aku pikir semua aman.

Tapi pas perhatiin lebih dekat, kok ada bintik-bintik hitam di bawah daun?

Ternyata kutu daun, banyak banget.

Aku panik, langsung jadi detektif kebun: nyemprot air sabun, ngelap satu-satu, kayak skincare-an tapi buat daun.

Setelah itu, aku pikir aman.

Daun-daun udah kupangkas rapi, tanaman udah cakep lagi.

Eh… seminggu kemudian, kejadian aneh muncul.

Daun yang baru tumbuh tiba-tiba bolong-bolong, kayak abis diserang pasukan tikus ninja.

Aku periksa pagi, oke masih bersih.

Sore, eeeeh kok bolong

Ulatnya tuh kayak makhluk gaib, gak pernah keliatan tapi hasil karyanya nyata.

Aku bongkar tiap daun, tiap lipatan batang, gak nemu.

Tapi tiap pagi, selalu ada daun korban baru.

Beneran aktif dan kreatif banget si ulat tuh udah kayak fandom BlekPing.

Sampai akhirnya aku sadar, mungkin ulatnya tinggal di dimensi lain dan cuma mampir malam buat makan daun lalu menghilang lagi.

Sumpah, kalau ini game, level ulatku tuh boss terakhir kayaknya.


Plot Twist Bernama Hujan

Belum sempat pulih dari ulat misterius, datanglah hujan deras tiap sore.

Dan tolong ingat ya, rooftopku itu open air, gak ada atap, gak ada pelindung, gak ada harapan dahlah..

Begitu hujan, air masuk langsung ke galon.

Tanaman melon yang tadinya semangat langsung letoy, daunnya kayak rambut abis kena rebonding gagal.

Aku naik ke rooftop sambil bawa kopi (niatnya mau chill).

Begitu liat melonnya kedinginan, aku cuma bisa ngomel:

“Baru dihantam hujan aja udah kalah. Gimana kalo nanti dihantam kabar PHK?”

Melonnya diem aja, tapi aku yang nagis meratapi nasib yang sudah diperjuangkan sekian purnama.

Sore itu aku resmi kehilangan satu pot melon.

Aku nunduk, hujan turun, lagu sedih berputar di kepala.

Skenario-nya udah kayak ending Drama Korea versi kebun.


Pupuk Ajaib yang Beraroma Misterius

Karena tetep pegang prinsip zero waste, aku eksperimen bikin POC alias Pupuk Organik Cair.

Bahannya simpel banget, sisa kulit buah, sayur layu, air cucian beras, semua dicemplungin ke wadah.

Minggu pertama, aromanya... luar biasa mengguncang dunia, ehhh hidung.

Campuran antara dapur, selokan, dan eksperimen kimia gagal.

Tapi hasilnya gak bohong!

Daun melon jadi hijau segar, batangnya makin kuat, dan tumbuhnya cepat banget.

Aku sampe mikir,

“Oh, ini ya rasanya jadi ilmuwan, tapi di rumah.”

Sekarang aku udah level pembuat pupuk dengan aroma kejujuran.

Kalau parfum bisa nyimpen aroma gak midal, mungkin POC-ku bisa jadi Eau de Misquens Edition. Wkwkwk 


Pestisida Nabati: Racikan Dapur untuk Mengusir Hama


Entah kenapa sisi idealis aku juga muncul saat bahas pestisida.

Aku bertekad nggak pakai pestisida kimia.

Jadi aku buat pestisida nabati sendiri dari bahan sekitar rumah: bawang putih, cabe rawit, daun sirsak, dan sedikit sabun cair sebagai perekat.

Diblender, disaring, dimasukkan botol, selesai.

Wewangiannya khas, tapi lumayan efektif, minimal bikin hama mikir dua kali sebelum makan daun melonku.


Melon Layu, Tapi Aku Naik Level

Setelah semua drama, dari kutu daun, ulat misterius, sampai hujan deras, aku tetep lanjut berkebun.

Karena ternyata urban farming itu bukan soal hasil panen, tapi soal kesabaran dan keikhlasan.

Kadang aku mikir, berkebun ini kayak hubungan percintaan.

Udah dirawat, dikasih perhatian, disiram tiap hari, tapi tetep aja… layu tanpa alasan, kayak di ghosting gitu, wkwk

Tapi dari situ aku belajar:

“Kalau bisa sabar ngurus tanaman, berarti kamu udah siap ngadepin hidup.” cielah deep, kayak yang bener tapi gak realistis, wkwk

Melon pertamaku memang tumbang, tapi aku naik level.

Aku belajar gimana cara pruning, bikin pupuk, dan ngontrol emosi biar gak nyemprot ulat pake Baygon.

Sekarang aku udah bisa liat daun bolong tanpa langsung overreact, cuma ngomel kecil aja kayak,

“Oke, gue tandain lu! Tapi hari ini gak ada buffet lagi ya, plis.”


Urban Farming Buat Semua (Termasuk yang Sering Galau)

Dulu aku kira urban farming cuma buat orang sabar, rajin, dan kalem.

Ternyata enggak, bestii.

Buat kamu yang gampang panik, gampang baper, bahkan gampang rebahan, cocok juga! 

Seriusss! Berkebun sore hari, cuaca udah mulai redup, sambil dengerin lagu-lagu galau Kahitna, nangeees lu! hahaha

Karena di dunia urban farming, kamu bakal belajar semua hal:

Problem solving waktu daun tiba-tiba gosong

Manajemen waktu biar gak lupa nyiram

Kesabaran ekstrem waktu panen molor dua minggu

Dan keikhlasan sejati waktu hasil panen cuma satu buah mungil tapi kamu tetep bangga banget

Jadi kalau kamu mau mulai, gak perlu lahan luas, gak perlu alat mahal.

Mulai aja dari apa yang kamu punya.

Bisa galon bekas, botol plastik, bahkan ember cuci asal gak bocor.

Dan kalau nanti tanamanmu layu, ingat satu hal:

It’s oke. Setidaknya ulatmu Melon Layu, Tapi Aku Naik Level

Setelah semua drama, dari kutu daun, ulat misterius, sampai hujan deras, aku tetep lanjut berkebun.

Karena ternyata urban farming itu bukan soal hasil panen, tapi soal kesabaran dan keikhlasan.

Jadi kalau kamu mau mulai, gak perlu lahan luas, gak perlu alat mahal.

Mulai aja dari apa yang kamu punya.

Bisa galon bekas, botol plastik, bahkan ember cuci asal gak bocor.

Dan kalau nanti tanamanmu layu, ingat satu hal:

“It’s oke, bestie. Setidaknya ulatmu happy dan kamu punya cerita buat ditertawakan nanti.” 

Rooftop Garden Story: Kangkung Organik dengan Sentuhan Zero Waste

Minggu, November 02, 2025 20 Comments
Kangkung Organik 

dianti.site- Kalau ada yang bilang urban farming itu cuma hobi “gabut”, percayalah…mereka belum pernah ngerasain panen kangkung sendiri di rooftop yang panasnya kadang kayak neraka sedang promo diskon 90% wkwkwk.

Sebagai orang yang suka eksperimen tanaman (dan kadang sok percaya diri), aku akhirnya bikin kebun kecil di rooftop rumah yang luasnya lumayan, anginnya semriwing, dan mataharinya full all you can shine.


Semuanya bermula dari satu keputusan sederhana “Daripada galon bekas numpuk, mending dijadiin pot.”

Dan begitulah kisah zero waste-ku dimulai. 

Galon-galon bekas air mineral yang tadinya cuma nunggu dijual kiloan, berubah jadi pot kece yang siap menampung tanaman. 

Serius, mereka langsung naik kasta dari “sampah plastik tak berguna” menjadi “pot urban farming kalcer” itu menurutku ya, menurutku aja.

Kenapa Kangkung? Kenapa Bangkok?

Kangkung Bangkok

Ada banyak pilihan tanaman sebenarnya, tapi kenapa aku pilih kangkung bangkok?
Jawabannya simpel:

- Kangkung itu bandel, cocok buat pemula.

- Cepat panen, jadi gak bikin galau nunggu lama kayak PDKT apalagi kalo ujungnya HTS-an, run lah!

- Kalau beli di pasar harganya receh, tapi kalau nanam sendiri… rasanya ulalaaa berharga banget.

- Kangkung bangkok itu cakep, daunnya besar, batangnya gagah, cocok difoto (penting).

Dan yang paling penting, aku penasaran:

“Kenapa namanya bangkok? Emang dia pernah travelling?”

Ternyata bukan. Itu cuma jenisnya aja. Tapi gapapa, yang penting terlihat lebih “premium”.

Rooftop: Surga Mini sekaligus Arena Gladiator

Kangkungku ditanam di rooftop yang notabene luas dan terbuka. 

Kedengarannya sih menyenangkan, kayak punya kebun di atas dunia, tapi kenyataannya mirip arena gladiator, karena: 

- Anginnya kenceng, kadang sampai daun melambai-lambai kayak artis dangdut.

- Mataharinya super niat, bisa bikin tanaman cepat tumbuh tapi juga cepat lemas kalau lupa disiram.

- Hujan tiba-tiba? Wah, itu boss level.

Walaupun begitu, aku tetap cinta rooftop ini. 

Disinilah konsep urban farming hidup. 

Baca juga: Daur Hidup Pertanian dan Peternakan di Rumah: Siklus yang Tak Pernah Berakhir

Bukan sekadar nanam buat gaya-gayaan, tapi juga buat membuktikan bahwa lahan sekecil apapun bisa jadi sumber kebahagiaan, asal mau kreatif.

Dan tentu saja, semua tanaman di rooftop-ku 100% organik. 

No kimia, no drama residu, no pusing mikirin efek samping.

POC: Pupuk Ajaib yang Bikin Kangkung Montok

Aku pakai POC (Pupuk Organik Cair) homemade dari fermentasi sisa dapur. 

Mulai dari air cucian beras, kulit bawang, daun sisa masak, sampai ampas sayur, semua didaur ulang biar gak jadi sampah sia-sia.

Pokoknya full zero waste.

Sampah dapur tidak pergi ke tempat sampah, tapi naik pangkat jadi nutrisi tanaman.

Dan hasilnya?

Kangkungnya tumbuh dengan percaya diri. 

Daun lebar, warna hijau pekat, dan batangnya… aduh, montok banget. 

Rasanya setiap kali lihat tanaman itu, aku pengen bilang:

“Adeeek, jangan gede-gede amat. Nanti takut sombong.”

Setiap tiga hari sekali, POC kusiramkan dengan penuh kasih sayang. 

Dan seperti biasa, si kangkung merespons dengan pertumbuhan super gesit. 

Aku sampai heran, “Ini kangkung atau anak kecil yang baru disuruh makan sayur?”

Perawatannya: Dari Disiram Sampai Disayang

Merawat kangkung ternyata jauh lebih santai daripada merawat tanaman lain, bukan malika yang dibesarkan seperti anak tiri, ehhh salah...

 Kangkung itu chill banget, yang penting:

  • Dapat air cukup

  • Dapat sinar matahari

  • Sesekali disemprot pestisida nabati biar gak diganggu serangga

Yups, aku juga bikin pestisida nabati sendiri: dari bawang putih, daun sirsak, atau air cabai. 

Yang penting, semuanya organik. 

Baca juga: Kebun dan Ternak Rumahan, Kita Usahakan Mandiri Pangan

Serangga cuma datang, cicip sedikit, lalu sadar bahwa “ini tanaman sehat, terlalu kuat untuk kami.”

Walaupun begitu, ada masa-masa di mana kangkungku sedikit tersinggung sama cuaca. 

Pernah suatu hari angin rooftop terlalu niat, sampai beberapa daun miring kayak habis disuruh ikut lomba balap barongsai deh. 

Tapi karena mereka kuat, semuanya balik sehat lagi.

Hari Panen: Saat Recehan Berubah Jadi Emas Emosi

Panen Kangkung

Setelah beberapa minggu, tibalah hari panen. 

Aku naik ke rooftop sambil bawa pisau dan gunting, feeling excited kayak mau mengambil rapor waktu SD.

Dan jreeeng kangkung bangkokku tumbuh subur banget.

Lebarnya, tingginya, warnanya… semuanya cakeep.

Saat mulai memanen, ada rasa pride yang sulit dijelaskan. 

Bukan karena kangkungnya mahal, tapi karena aku menanamnya dari nol.

Tiap batang yang kupotong rasanya seperti:

“Ya ampun, ini hasil kerja keras aku sendiri!”
“Ini bukan kangkung biasa. Ini kangkung PREMIUM!”

Kalau beli di pasar? Harga cuma seribu dua ribu.
Kalau panen sendiri?
Berasa panen emas hijau.

Aku tahu ini terdengar lebay, tapi perasaan bahagianya itu nyata. 

Rasanya seperti semua siraman, semua cek kondisi daun, semua semprotan POC… terbayar lunas.

Bahkan aku sempat foto-foto kangkung hasil panen. 

Bukan soal pamer, tapi buat dokumentasi kenangan manis antara aku dan tanaman, galon bekas, POC gratisan, dan sedikit cinta.

Masak Sendiri = Nilai Bahagia Naik 300%

Tumis Kangkung

Begitu masuk dapur, kangkung rooftop ini langsung naik level lagi. 

Dibuat tumis bawang putih sederhana aja udah nikmat. 

Rasanya renyah, segar, dan entah kenapa beda dari kangkung pasar.

Mungkin ini namanya “rasa usaha sendiri”.

Setiap kunyahannya…
“Wah, ini hasil keringatku!”

Setiap suapan…
“Inilah kebahagiaan versi urban farming.”

Dan sejak hari itu, aku makin yakin:
Urban farming bukan cuma aktivitas, tapi terapi hati.
Bikin kita sabar, menghargai proses, dan bahagia dengan hal-hal kecil.

Kesimpulan ala Emak-Emak Rooftop Farmer

  • Rooftop luas? Tanam dong. Sayang kalau cuma buat jemur baju.

  • Galon bekas? Jangan dibuang. Pot kangkung terbaik justru ditanam disitu.

  • POC? Gunakan yang organik. Tanaman sehat, bumi juga senang.

  • Kangkung bangkok? Receh di pasar, berharga di hati kalau panen sendiri.

  • Urban farming? Seru, menenangkan, dan bikin ketagihan.

Siapa sangka tanaman sederhana seperti kangkung bisa membawa kebahagiaan sebesar ini?

Kalau nanti panen lagi, kayaknya aku bakal bikin acara syukuran kecil. 

Minimal traktir diri sendiri es teh manis. Kan seger, segernya sama kayak panen kangkung pertama. hihihi***



Kebun dan Ternak Rumahan, Kita Usahakan Mandiri Pangan

Minggu, September 28, 2025 12 Comments

Slow Living dengan Beternak Kambing
Slow Living Beternak dan Bertani

dianti.site- Awalnya sih nggak ada niat serius banget untuk mandiri pangan dari rumah.

Cuma karena lihat peluang aja, dan aku sempatkan waktunya jadilah seperti hari ini. 

Rumahku punya atap beton yang luas banget, ada kolam di bawah rumah yang nganggur, sama halaman samping yang lumayan lah daripada nganggur. 

Dari situlah perjalanan kemandirian pangan ala-ala aku dimulai.

Nggak muluk-muluk, aku cuma pengen rumahku bisa jadi sumber pangan sederhana. 

Eh ternyata lama-lama malah jadi kayak mini-farm. 

Serius, tiap bangun tidur sekarang bukan cuma buka jendela, tapi sekalian cek hewan-hewan, siram tanaman-tanaman, sama intip ikan di kolam.

Atap Beton Jadi Kebun Hijau

Tanam Kangkung di Pot

Dulu atap beton rumahku cuma jadi tempat jemur pakaian. 

Panas, gersang, dan yaa gitu-gitu aja. 

Suatu hari aku mikir, “Lha, ini luas banget kenapa nggak aku manfaatin buat nanam sayur?”

Ditambah lagi limbah galon bekas air mineral makin hari makin banyak 

Akhirnya aku sulap limbah galon bekas jadi pot tanaman dengan konsep self watering.

Soal media tanam pun sebenarnya udah melimpah dari kandang ayam dan kandang kelinci, jadi tunggu apalagi?

Akhirnya aku mulai nanam sayuran favorit. 

Ada kangkung yang gampang banget tumbuh, timun buat lalapan, tomat sampai cabe biar nggak khawatir kalau harga di pasar naik. 

Baca juga: Rapihin Bulu dan Daun, Ritual Receh Anti-Anxiety

Aku juga coba tanam bawang daun, seledri, plus beberapa tanaman panjang umur kayak jagung, kacang merah, kacang panjang, dan kacang buncis.

Atap beton yang tadinya panas dan bikin mata silau, sekarang berubah jadi kebun hijau yang adem. 

Rasanya tiap sore aku betah nongkrong di atas, sambil nyiram tanaman dan lihat mereka tumbuh.

Kolam Bawah Rumah jadi Lumbung Ikan

Budidaya Lele

Di bawah rumah ada kolam kecil yang dulu sering dipakai cuma buat nampung air hujan. 

Makin kesini malah jentik nyamuk tumbuh liar.

Aku mikir cara membasmi jentik tersebut tapi gak pake zat kimia.

Alhasil setelah diskusi dengan suami, kami memutuskan untuk menabur bibit ikan nila merah sebagai musuh alami jentik-jentik nyamuk.

Cuma karena kolamnya tidak mendapat cahaya matahari optimal, jadi pertumbuhan nila pun gak sesuai harapan.

Usaha gak berhenti sampai itu aja, setelah ikan nila dipanen, digantilah dengan bibit ikan lele dan patin.

Aku pilih lele sama patin karena gampang banget dirawat dan tahan banting.

Sekarang kalau malam-malam pengin makan ikan goreng, aku nggak perlu ke pasar. 

Tinggal jala, ambil lele dari kolam, langsung masak. 

Segarnya dapet, hematnya juga kerasa. 

Kadang kalau ada teman main ke rumah, mereka suka takjub, “Serius ini lele dari bawah rumahmu?” dan aku cuma bisa nyengir bangga.

Halaman Samping Jadi Kandang Ternak

Ayam Elba

Halaman samping rumah juga nggak mau kalah. 

Aku bikin kandang kecil-kecilan buat hewan peliharaan. 

Awalnya cuma lima ekor, eh sekarang jadi banyak. 

Tiap pagi aku bisa panen telur segar buat sarapan. 

Rasanya beda banget sama telur beli di pasar, kayak lebih gurih, lebih “hidup” aja.

Selain ayam, aku coba tambah koleksi unggas. 

Ada kalkun yang badannya gede dan bikin halaman makin rame, merpati yang awalnya aku pelihara gara-gara dikasih tapi ternyata dagingnya enak juga, dan kelinci yang lucu banget tapi juga cepat berkembang biak.

Puncaknya aku nekat pelihara domba tapi dibantu ngurus sama tetangga. 

Jujur, awalnya agak bingung, tapi ternyata mereka cukup gampang dirawat. 

Domba-domba itu aku kasih makan rumput sekitar rumah, jadi nggak terlalu ribet soal pakan. 

Baca juga: Cerita Me Time yang Nggak Kamu Sangka dari Seekor Kalkun

Emmm... Karena udah ada yang bantu ngurus juga sih kalo domba.

Dan tiap lihat domba ngemil dengan santai, rasanya damai banget.

Saling Melengkapi, Nggak Ada yang Sia-Sia

Salah satu hal paling seru adalah ternyata semuanya saling mendukung. Misalnya:

Kotoran ayam, domba, dan kelinci bisa jadi pupuk buat tanaman di atap.

Sisa sayuran yang layu aku kasih ke kelinci, mereka lahap banget.

Air kolam lele aku pakai buat siram tanaman, jangan salah! nutrisinya kaya banget.

Jadi, dari ternak ke kebun, dari kebun ke ternak, semuanya muter. 

Nggak ada yang sia-sia sama sekali.

Hidup Jadi Lebih Bermakna

Banyak banget manfaat yang aku rasain sejak mulai mandiri pangan.

Belanja dapur lebih hemat, karena beberapa kebutuhan memang sudah tersedia di rumah.

Makanan lebih sehat, aku tahu persis apa yang masuk ke ayam, domba, dan sayuran.

Nggak panik harga naik, cabe mahal? Santai aja, tinggal petik.

Punya hiburan baru, daripada main HP terus, sekarang aku lebih sering main sama kelinci atau sama ayam.

Tapi paling sering sih nguyel-nguyel kucing yang emang di adopsi khusus buat nemenin aku di rumah.

Dan yang penting, aku ngerasa lebih “merdeka”. 

Rasanya tenang banget tahu kalau di rumah sudah ada stok pangan sendiri.

Tips Buat yang Pengen Ikut Coba

Kalau kamu kepikiran buat mandiri pangan juga, jangan langsung besar, tapi mulai dari hal kecil. 

Misalnya tanam kangkung di pot atau pelihara ayam kampung sepasang. 

Dari situ nanti kamu bakal ketagihan sendiri.

Jangan takut gagal, aku pun sering kok, tanaman layu, ayam sakit, atau lele mati. 

Namanya belajar pasti ada jatuh-bangunnya, yang penting jangan berhenti! Lama-lama bakal terbiasa.

Sekarang aku sadar, punya atap beton luas, kolam di bawah rumah, dan halaman samping ternyata rezeki besar. 

Daripada kosong dan nggak kepakai, lebih baik dimanfaatkan. 

Dari situ lahirlah mini farm versiku: ada ayam, kalkun, merpati, kelinci, domba, ikan lele, ikan patin, plus kebun sayuran di atap yang hijau.

Aku nggak bilang ini mudah, tapi percayalah, hasilnya bikin hati puas. 

Rasanya kayak punya lumbung pangan sendiri, langsung di rumah. 

Dan aku yakin, kalau aku bisa, kamu juga bisa. 

Mulai aja dari satu pot cabe atau satu ekor ayam, siapa tahu nanti berlanjut jadi mini farm yang bikin hidupmu lebih bahagia.***


Rapihin Bulu dan Daun, Ritual Receh Anti-Anxiety

Rabu, Agustus 13, 2025 0 Comments

Anti Anxiety


dianti site- Kalau kamu mikir anti-anxiety itu cuma bisa dari yoga, meditasi, atau staycation, coba deh upgrade mindset. 

Sekarang aku udah nemu resep ampuh yang nggak kalah healing, yaitu rapihin bulu dan daun. 

Yes, ini bukan metafora, ini literally nyisir bulu hewan peliharaan dan merapikan daun tanaman setiap hari.

Awalnya, aku kira kegiatan ini cuma hobi lucu-lucuan aja. 

Tapi ternyata, efeknya tuh ngena banget ke mental health. 

Anxiety yang dulu sering datang kayak iklan pop-up nggak jelas, sekarang makin jarang nongol.

Dari Gedebak-gedebuk ke Yaudahlah Jalanin Aja

Ibarat kata, perubahan dalam diri aku tuh dari genre yang gedebak-gedebuk dar der dor jadi jalanin aja dulu.

Kalo jalan aja dulu tanpa tujuan dan kepastian??? Red flag tuh (canda) ✌️

Dulu aku tipe orang yang ambisius parah.

Target hidup itu harus detail, harus kejadian sesuai rencana. 

Kalau nggak, otak langsung error, hati nggak tenang, dan tidur pun jadi drama.

Tapi semua mulai berubah waktu aku pindah ke pinggiran kota Tasikmalaya. 

Rumahku nggak fancy, tapi halamannya cukup buat pelihara hewan dan tanam sayuran. 

Aku punya ayam kampung, kalkun, merpati, lovebird, kucing, kelinci… plus kebun mini berisi kangkung, cabai, kacang, sampai tanaman hias di pot.

Setiap pagi, ritualnya selalu sama, yaa nyisir bulu hewan biar nggak kusut, ngecek daun yang layu, motong daun yang udah tua, nyapu kandang, dan siram tanaman. 

Baca juga: Daur Hidup Pertanian dan Peternakan di Rumah: Siklus yang Tak Pernah Berakhir

Sounds simple, tapi rasanya kayak soft reset buat otak.

Kenapa Bulu dan Daun Bisa Jadi "Obat" Anti-Anxiety?

Ternyata, ada alasannya kenapa kegiatan ini bikin hati adem:

1. Gerakan Rutin = Meditasi Terselubung

Nyisir bulu kelinci atau kucing itu bikin fokus. 

Suara ssrrk-ssrrk dari sisir, bulu yang rapi satu per satu… rasanya bikin pikiran tenang. 

Ini sama kayak orang yang merajut atau ngecat, cuma versinya lebih feather-friendly.

2. Sense of Achievement

Lihat bulu hewan jadi rapi atau tanaman jadi segar setelah dibersihin itu bener-bener memuaskan. 

Ada rasa "Yes, aku berguna hari ini!" tanpa harus nyelesain target kerja yang ribet.

3. Koneksi Emosional

Hewan dan tanaman itu merespons perhatian kita, serius deh. 

Hewan jadi manja, tanaman jadi subur. 

Dan ketika mereka tumbuh sehat, kita juga ikut merasa dihargai.

4. Mindfulness Natural

Merhatiin detail warna daun, tekstur bulu, atau aroma tanah basah bikin kita hadir penuh di momen itu. 

Anxiety biasanya muncul karena pikiran lari ke masa depan atau masa lalu, dan kegiatan ini narik kita balik ke "sekarang".

Capek Tapi Bikin Tidur Nyenyak

Jujur, ngurusin hewan dan tanaman setiap hari itu bikin pegel. 

Ada keringat, ada bau kandang, ada tangan kotor. 

Tapi justru itu yang bikin badan capek dengan cara sehat. 

Malamnya, tidur jadi lelap tanpa drama overthinking.

Tips Buat Kamu yang Mau Coba Resep Ini

Biar kegiatan ini nggak cuma jadi "niat doang", cobain trik ini:

Mulai dari Kecil

Nggak harus langsung punya kebun besar atau peternakan mini. 

Cukup pelihara satu ekor kucing atau punya tiga pot tanaman hias.

Jadwalin Waktu

Misalnya pagi sebelum kerja atau sore sebelum magrib. 

Kegiatan ini bakal jadi ritual wajib yang bikin kamu selalu punya jeda dari dunia digital.

Nikmati Prosesnya

Jangan buru-buru! rasain tekstur bulu, hirup aroma daun segar. 

Treat it as me time, bukan beban.

Kesimpulannya yaaa "Healing Nggak Harus Mahal"

Rapihin bulu dan daun mungkin kedengeran receh. 

Tapi buat aku, ini udah jadi life hack yang bikin anxiety turun drastis. 

Dari pinggiran kota, aku belajar kalau ketenangan nggak datang dari liburan mewah, tapi dari momen sederhana yang kita jalani setiap hari.

Jadi kalau besok kamu lagi suntuk, coba aja ambil sisir, rapihin bulu hewan peliharaanmu, atau petik daun kering di pot. 

Siapa tahu, ketenangan yang kamu cari udah ada di halaman rumah sendiri.*



Dari Kandang ke Meja Makan: Mengolah Hasil Polikultur Unggas untuk Konsumsi Harian

Selasa, Maret 25, 2025 0 Comments


dianti.site- Hidup di pinggiran kota dengan konsep slow living memberikan banyak peluang untuk kembali ke alam dan menikmati hasil ternak sendiri. 

Salah satu cara untuk menjalani gaya hidup ini adalah dengan menerapkan sistem polikultur unggas, di mana ayam kampung, kalkun, dan merpati dapat dipelihara bersama dalam keseimbangan ekosistem yang alami. 

Polikultur unggas tidak hanya memberikan manfaat dalam efisiensi pakan dan pengelolaan limbah, tetapi juga membuka peluang konsumsi yang lebih luas. 

Dalam sistem ini, hampir semua bagian dari unggas dapat dimanfaatkan secara optimal, baik sebagai sumber pangan maupun produk olahan bernilai tinggi. 

Dengan pemahaman yang baik, kami dapat mengurangi limbah dan meningkatkan keuntungan dari ternak.

Berikut ini adalah contoh berbagai aspek konsumsi unggas dalam sistem polikultur, dari daging hingga telur dan manfaat nutrisi yang dihasilkan.

Konsumsi Daging yang Merupakan Sumber Protein Berkualitas

Dalam kehidupan yang lebih sederhana dan berkelanjutan, memiliki sumber protein sendiri dari unggas yang dipelihara dengan baik menjadi sebuah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. 

Daging unggas merupakan salah satu sumber protein hewani terbaik yang mudah dicerna dan memiliki nilai gizi tinggi. 

Dalam sistem polikultur, konsumsi daging bisa disesuaikan dengan jenis unggas yang dipelihara.

Sebab setiap spesies unggas memiliki karakteristik rasa dan tekstur yang berbeda.

Daging Ayam Kampung

Memiliki tekstur lebih kenyal dibanding ayam pedaging atau ayam negeri, dengan cita rasa khas yang lebih gurih. 

Daging ayam kampung sering digunakan dalam berbagai hidangan tradisional seperti opor, soto, dan gulai.

Pastikan untuk memotong ayam yang tidak terlalu tua, agar daging tidak alot.

Namun jika terpaksa, masaklah dengan menggunakan presto untuk membuat tekstur daging ayam kampung menjadi lunak.

Daging Kalkun

Mengandung lebih sedikit lemak dibanding ayam, menjadikannya pilihan yang lebih sehat.

Daging kalkun cocok untuk dipanggang, direbus, atau dijadikan steak rendah lemak.

Hidangan kalkun pun terbilang cukup mewah mengingat masih jarang diolah dan ukurannya yang sangat besar.

Daging Merpati

Daging merpati memiliki rasa yang lebih kuat dan bertekstur lembut daripada daging ayam kampung maupun daging kalkun. 

Biasanya digunakan dalam masakan eksotis atau sebagai sup kaya nutrisi.

Namun di beberapa kota, khususnya di tenda pecel, beberapa pedagang menjual hidangan berupa goreng merpati, layaknya ayam goreng.

Berikut ini Contoh Resep Nusantara dengan Daging Unggas:

Opor Ayam Kampung
Bahan:

  • 1 ekor ayam kampung, potong-potong

  • 500 ml santan kental

  • 3 lembar daun salam

  • 2 batang serai, memarkan

  • 5 siung bawang putih, haluskan

  • 7 siung bawang merah, haluskan

  • 1 sdt ketumbar bubuk

  • Garam dan gula secukupnya
    Cara memasak:

  • Tumis bumbu halus hingga harum, tambahkan daun salam dan serai.

  • Masukkan ayam kampung, aduk rata hingga ayam berubah warna.

  • Tambahkan santan, masak hingga ayam empuk dan bumbu meresap.

  • Sajikan dengan nasi hangat.

Sate Kalkun Bumbu Kecap
Bahan:

  • 500 gram daging kalkun, potong dadu

  • 5 sdm kecap manis

  • 2 siung bawang putih, haluskan

  • 1 sdt merica bubuk

  • 1 sdt ketumbar bubuk

  • Tusuk sate secukupnya
    Cara memasak:

  • Campurkan semua bumbu dengan daging kalkun, diamkan selama 30 menit.

  • Tusukkan daging ke dalam tusuk sate.

  • Panggang hingga matang sambil diolesi sisa bumbu.

  • Sajikan dengan sambal kacang.

Sup Merpati Rempah
Bahan:

  • 1 ekor merpati, bersihkan dan potong

  • 1 liter air

  • 3 batang serai, memarkan

  • 5 siung bawang merah, iris tipis

  • 3 siung bawang putih, iris tipis

  • 1 ruas jahe, memarkan

  • Garam dan lada secukupnya
    Cara memasak:

  • Rebus air hingga mendidih, masukkan merpati dan semua bumbu.

  • Masak dengan api kecil hingga daging empuk dan kaldu terasa kuat.

  • Sajikan hangat dengan taburan daun bawang.

Selain resep-resep di atas, masih banyak variasi resep nusantara lainnya yang patut untuk dicoba dengan ciri khas rasa yang lebih kaya dan bervariasi.

Telur Sebagai Sumber Gizi Sehari-hari

Bagi mereka yang menjalani slow living, memanfaatkan telur segar dari ternak sendiri memberikan kepuasan tersendiri. 

Telur merupakan hasil ternak yang bernilai tinggi, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan dalam berbagai olahan makanan. 

Setiap jenis unggas dalam polikultur memiliki karakteristik telur yang unik.

Telur Ayam Kampung

Lebih kecil dari telur ayam ras, tetapi memiliki kuning telur yang lebih pekat dan kaya nutrisi. Banyak digunakan sebagai bahan makanan sehat dan suplemen alami.

Telur Kalkun

Lebih besar dari telur ayam dengan tekstur yang lebih lembut dan rasa yang gurih. Biasanya dimanfaatkan dalam makanan gourmet atau dikonsumsi langsung.

Telur Merpati

Jarang dikonsumsi secara umum, tetapi memiliki manfaat kesehatan yang tinggi, terutama dalam pengobatan tradisional.

Contoh Resep Nusantara dengan Telur

Telur Pindang Ayam Kampung

  • Rebus telur ayam kampung dengan teh celup untuk mendapatkan warna dan aroma khas.

  • Tambahkan garam, bawang putih, dan kecap manis untuk memperkaya rasa.

Telur Dadar Kalkun

  • Kocok telur kalkun dengan bawang merah, daun bawang, dan sedikit garam.

  • Goreng dengan sedikit minyak hingga matang keemasan.

Selain resep di atas, telur organik hasil dari peternakan sendiri terkadang tidak perlu diolah sedemikian rupa.

Cukup direbus dan dinikmati sebagai hidangan sarapan bergizi demi memastikan pemenuhan kebutuhan protein harian.

Olahan Produk Unggas untuk Diversifikasi Konsumsi

Selain konsumsi langsung, hasil unggas juga dapat diolah menjadi berbagai produk bernilai tinggi. 

Bagi para pelaku slow living, membuat produk olahan sendiri tidak hanya menjamin kualitas tetapi juga memberikan kepuasan tersendiri.

Pengolahan Daging

Daging ayam kampung, kalkun, dan merpati bisa diolah menjadi abon, sosis, atau bakso untuk meningkatkan daya simpan dan variasi konsumsi.

Pengawetan Telur

Teknik seperti pengasinan atau fermentasi dapat memperpanjang umur simpan telur sekaligus meningkatkan cita rasa.

Kaldu dan Minyak Unggas

Tulang dan kulit unggas dapat dimanfaatkan untuk membuat kaldu alami yang kaya kolagen, sementara minyaknya dapat digunakan sebagai lemak sehat dalam masakan.

Kesimpulan

Pemanfaatan hasil polikultur unggas tidak hanya terbatas pada konsumsi daging dan telur, tetapi juga bisa dikembangkan menjadi berbagai produk olahan yang bernilai tinggi. 

Dengan menjalani konsep slow living, peternak bisa menikmati hidup yang lebih seimbang, berkelanjutan, dan lebih dekat dengan alam, sambil tetap mendapatkan manfaat ekonomi dan kesehatan dari usaha ternak.

Menikmati makanan yang dirawat sendiri rasanya seakan lebih nikmat, entah karena soal rasa atau karena menuai hasil setelah bekerja keras.