Belajar Bahasa Arab Level Mubtadi di Usia 30: Perjalanan Lucu Menemukan Makna Doa
dianti.site - Kalau nanya kenapa aku tiba-tiba belajar bahasa Arab di usia 30 tahun, jawabannya bukan karena iseng atau juga bukan karena pengen pamer bisa ngomong kayak Nancy Ajram.
Dari dulu aku punya satu keinginan sederhana tapi gak pernah kesampaian, yaitu pengen bisa bahasa Arab.
Bukan buat keren-kerenan, tapi karena aku pengen ngerti arti dari doa-doa yang tiap hari aku baca.
Selama ini aku hafal, iya.
Tapi paham? Belum tentu.
Masalahnya, aku gak pernah nemu tempat belajar yang pas.
Kadang waktunya bentrok, kadang kelasnya jauh, kadang juga... ya, cuma niatnya aja yang rajin, tapi langkahnya males.
Hidayah dari Scroll Sosmed
Kalian gak salah baca! Hidayah itu datang di sela doomscrolling sosmed di sore hari.
Lagi rebahan santai, muncul story dari UPA Bahasa Universitas Siliwangi:
“Kelas Bahasa Arab Level Mubtadi — cocok untuk pemula!”
Langsung mataku cling! Kayak semesta lagi nyentil,
“Tuh, yang kamu cari dari dulu nongol juga.”
Aku kirim infonya ke suami sambil bilang:
“Sayang..Aku pengen ikut ini,”
Dan kayak suami ideal di drama Ramadan, dia jawabnya bukan cuma “boleh”, tapi langsung bantu daftar dari awal sampe selesai.
Dia bahkan lebih niat dari aku, semuanya dibantu.
Pokoknya dia gak cuma suami, tapi manajer pendidikan rohaniku sekaligus tim IT spiritual.
Tapi gara-gara itu, aku mikir "waaahhh gaada alesan buat mundur nih!" Hihihi
Evolusi Belajar Bahasa
Waktu usia 20-an, aku kuliah teknik dan otomatis fokusnya jadi belajar bahasa pemrograman.
Aku terbiasa ngoding sampai tengah malam, bahkan sampai pagi, ya cuma buat nyari bug di baris kode.
Aku bisa nemuin kesalahan syntax dalam lima menit, tapi kalau disuruh nemuin makna doa, aku harus buka terjemahan dulu baru paham dikit.
Lucunya, dulu di kampus aku belajar tentang machine logic, tapi sekarang di usia 30 aku lagi belajar makna kalamullah.
Dua-duanya susah, tapi yang ini rasanya lebih... menyentuh hati.
Usia Suhu, Skill Cupu
Kelasnya gak ramai, cuma beberapa peserta.
Aku jadi peserta paling suhu dalam segi usia, tapi sekaligus yang paling cupu skill-nya.
Diantara mereka, cuma aku yang bener-bener nol besar!
Yang lain masih muda, usia 20-an, dan rata-rata udah pernah belajar bahasa Arab di sekolah atau pesantren.
Aku? Beneran cupu!
Bahkan ini adalah kali pertama bagiku dalam belajar bahasa Arab.
Pas instruktur nyuruh baca satu kalimat pendek, teman-teman lain bisa langsung nyebutin atau ngikutin dengan lancar.
Sementara aku masih bengong mikir,
“Emang artinya apa Ustadz?”
Tapi karena peserta dikit, interaksinya jadi intens banget.
Instrukturnya sabar banget dan sering bilang,
"Gak apa-apa pelan, nikmati prosesnya, dan konsisten,"
Kalimat itu jadi penyemangat ketika ngerasa minder banget dan ngerasa sangat tertinggal.
Lucunya Belajar dari Nol
Belajar bahasa Arab level mubtadi itu kayak naik roller coaster emosional, antara kagum dan bingung jadi satu.
Baru juga hafal “Ismi Dianti” (Namaku Dianti), tiba-tiba udah pindah ke “Min aina anti?” (dari mana kamu?).
Otakku yang terbiasa mikir logika teknik langsung short circuit. wkwkwk
Dan setiap kali aku berhasil baca satu kalimat tanpa salah, rasanya kayak berhasil debug program tanpa error.
Tapi kalau salah? Ya udah, tinggal ketawa bareng teman sekelas.
Tarbiyah Itu Bukan Beternak
Waktu sesi perkenalan, para peserta disuruh nulis teks tentang diri sendiri, seperti nama, pekerjaan, dan hobi.
Aku semangat banget nulis:
“Ismi Dianti. Hiyawati Tarbiyah Al Hayawanati.”
Instruktur senyum sambil bilang, “Wah, Bu Dian mendidik hewan-hewan peliharaannya?”
Aku langsung bingung,
“Lho, bukannya tarbiyah itu beternak, Ustadz?”
Sekelas meledak ketawa, wkwkwk
Dan sejak hari itu, aku resmi jadi bahan bercandaan, tarbiyah hewan-hewan.
"Apa sekarang hewan-hewanku sudah berakhlak mulia, karena terbiasa di-didik?" Hahaha
Ya Allah, sungguh perjalanan ini penuh daging...eh, makna.
Flashback: Kisah Tragikomedi “Ana Dulu Bu!”
Lucunya, kejadian salah arti bukan pertama kali buatku.
Dulu waktu kerja di sekolah berbasis pesantren, aku pernah bener-bener gak ngerti bahasa Arab.
Suatu hari anak-anak antre di depan ruanganku sambil bilang,
“Ana dulu Bu! Ana dulu!”
Refleks aku buka absen, nyari nama “Ana” tapi gak nemu-nemu.
Eh temennya ikutan nyeletuk,
“Ana juga Bu!”
“Lho, kok banyak banget anak namanya Ana?!” pikirku dengan sambil sibuk cari nama Ana di daftar siswa.
Baru deh aku sadar kalau Ana itu artinya “Saya”
Ya Allah, malu banget.
Perihal "Ana" doang gak paham.
Tapi momen itu bener-bener lucu kalau diingat sekarang.
Mungkin memang udah ditakdirkan buat belajar bahasa Arab.
Dulu aku gak paham, supaya sekarang bisa belajar dengan tawa, bukan gengsi.
Feminim dan Maskulin: Ketika Kata Punya Jenis Kelamin
Salah satu hal yang bikin aku bengong pas belajar bahasa Arab ternyata kata juga punya jenis kelamin!
Iya, di dunia bahasa Arab, gak cuma manusia yang bisa feminim dan maskulin, kata benda pun punya identitas sendiri.
Misalnya, “ustadz” artinya guru laki-laki, tapi kalau gurunya perempuan jadi “ustadzah.”
Atau kata “thalib” (murid laki-laki) dan “thalibah” (murid perempuan).
Cuma nambah huruf ta marbuthah (Ø©) di belakang, tapi maknanya langsung berubah jenis.
Aku langsung mikir,
“Oh jadi selama ini ta marbuthah itu kayak highlighter pink di akhir kata, tanda bahwa ini versi feminimnya,”
Dan dari situ aku mulai paham, belajar bahasa Arab tuh gak cuma ngafalin kosakata, tapi juga belajar mengenal karakter kata.
Arab Gundul Jadi Tantangan Besar
Nah, kalau ditanya bagian tersulitnya apa? jawabannya jelas, membaca Arab gundul!
Tulisan Arab tanpa harakat itu kayak teka-teki hidup.
Kadang aku nebak “ini kayaknya fathah,” eh ternyata kasrah.
Dan bener juga, setiap kali aku berhasil baca satu baris tanpa harakat dengan benar, rasanya kayak menang olimpiade.
Kosakata yang Nambah Diam-Diam
Hal paling ajaib selama belajar ini adalah betapa cepatnya kosakata bertambah.
Sekarang aku udah bisa ngomong kalimat sederhana.
Dan setiap kali bisa ngomong satu kalimat tanpa macet, aku merasa kayak level up di game.
Cuma bedanya ini bukan Mobile Legends, tapi Mubtadi Legends. hihihi
Classmate Dikit, Tapi Seru
Karena pesertanya dikit, suasana kelas tuh kayak tim yang kompak banget.
Kalau satu orang salah baca, yang lain langsung bantu betulin, tapi sambil ngakak juga.
Aku suka banget momen-momen kayak gitu.
Rasanya bukan kayak kelas formal.
Tapi kayak nongkrong produktif bareng temen yang niatnya sama, pengen ngerti, bukan sekadar hafal.
Dari Hafalan Jadi Pemahaman
Semenjak ikut kelas ini, aku mulai ngerti arti doa-doa yang selama ini cuma jadi hafalan otomatis.
Tiap kata yang dulu lewat begitu aja, sekarang terasa punya makna dan rasa.
Misalnya waktu baca “Rabbighfirli” (Ya Tuhanku, ampunilah aku), aku baru sadar betapa lembutnya permintaan itu.
Dulu aku cuma baca cepat, sekarang aku berhenti sejenak, ngeresapi.
Ternyata doa itu bukan cuma tentang hafal, tapi tentang rasa tulus yang lahir dari pemahaman.
Cambuk Halus dari Drama Korea
Entah kenapa, dorongan tambah semangat datang dari hal yang gak disangka, seperti drama Korea.
Waktu nonton “Genie: Make a Wish”, aku liat Bae Suzy dan Kim Woo-bin bisa ngomong bahasa Arab.
Auto bengong dong.
“Suzy sama Woo-bin dulu mesantren dimana yaa? Kok bisa pinter bahasa Arab?” wkwkwk
Malu tapi termotivasi, dan seperti cambuk halus bagiku.
Ternyata yang namanya motivasi bisa datang dari mana aja.
Aku Mungkin Paling Lambat
Kadang aku merasa minder karena teman-teman di kelas bisa lebih cepat paham karena udah punya dasar.
Tapi dari situ aku sadar, gak apa-apa aku belajar paling lambat, karena mungkin Allah sengaja memperlambat langkahku biar aku bisa menikmati setiap prosesnya.
Awal yang Datang di Usia 30
Sekarang setiap kali aku buka Al-Qur’an atau buku Doa, aku senyum kecil.
Tapi setidaknya, sekarang aku tahu arti dari setiap kata yang kuucapkan dalam doa.
Aku gak lagi hafal tanpa makna, aku paham walau masih terbata.
Dan rasanya... hangat banget.
Kalau dulu aku sibuk nyari bug di baris kode, sekarang aku sibuk nyari makna di baris doa.
Dan setiap kali aku ngerti satu ayat, aku merasa hidupku baru saja di-compile tanpa error.
Mungkin aku datang paling akhir ke kelas ini, tapi ternyata di sinilah aku menemukan awal yang baru.
Yaitu awal memahami makna doa, bukan sekadar mengucapkannya.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih aku sampaikan kepada UPA Bahasa Universitas Siliwangi sebagai penyelenggara dan Ustadz Adi sebagai instruktur kelas Bahasa Arab ini.
Daaan, terimakasih kepada suami yang sangat mendukung aku ikut program ini, serta teman-teman kelas yang turut menghangatkan setiap pertemuan.***





