Pusat Informasi

Rooftop Garden Mode Survival di Musim Hujan, Terong Jagoannya


dianti.site — Ada satu pertanyaan besar yang selalu muncul setiap kali masuk musim hujan.


“Aku ini petani rooftop atau pemain sinetron Indosiar yang tiap sore dijadwalkan meratapi hujan dengan adegan sedih?”


Awalnya niatku mulia, mau merawat kebun biar tetap produktif meski cuaca galau. 


Tapi realitanya?


Musim hujan tuh kayak manusia toxic yang datang tanpa permisi, pergi sesuka hati, dan ninggalin luka menyakitkan.


Mulai Berkebun, Tapi Cuacanya Kayak Lagi Prank


Sebagai pekerja rumahan yang sibuk nyambi jadi tukang spall spill, chef dadakan, dan tetangga yang jarang bersosialisasi, waktu berkebun tuh paling sering cuma sempet sore hari.


Masalahnya…


Setiap aku mau naik ke rooftop jam 4 atau 5 sore, H U J A N.


Bukan gerimis romantis ya besttt… tapi hujan deras tipe “kamu jangan berharap apa-apa dari hidup ini”.


Jadilah setiap sore aku berdiri di depan pintu rooftop sambil melongo, lihat air turun kayak efek slow-mo MV mellow.


“Yaudah deh tanaman… relakan saja nasibmu.”


POC: Dituang Dengan Cinta, Tersiram Ulang Oleh Semesta


Karena masih punya jiwa zero-waste, aku tetep rutin bikin POC dari dapur.


Setiap mau kasih POC, aku selalu semangat membara. 



Bawa wadah, naik ke rooftop, siap menyiram dengan kasih sayang.


Tapi ya itu dia…


Baru nyiram sebentar, langsung hujan.


POC yang kubuat penuh cinta langsung dilarutkan hujan seolah berkata:


“Udah ya, kamu gak usah capek-capek… biar aku yang ambil alih.” –hujan, probably.


Capek banget sumpah! Rasanya kayak ngisi bensin full tank tapi tumpah semua di jalan.


Melon Mati, Kangkung Kutilang, Jagung Kerdil


Mari kita mulai dengan yang paling tragis dulu…


1. Melon Gugur


Si melon kesayangan mati karena terlalu sering kehujanan.


Daunnya lepek, batangnya letoy, apalagi buah-buah kecilnya membusuk, overall vibes-nya… “let me rest”


Aku cuma bisa mengangguk pasrah sambil bilang:


“Best, kamu mati bukan karena gagal… tapi karena cuaca jahat.”


2. Kangkung Kutilang


Kangkungku tumbuh sih tumbuh… tapi ciamik banget alias kutilang: kurus, tinggi, langsing.


Kayak kangkung yang lagi diet ekstrem buat photoshoot cekrek cekrek, wkwkwk


Aku lihat batangnya yang kurus, aku cuma bisa tahan ketawa:


“Ini kangkung atau model runway Jakarta Fashion Week?”


3. Jagung Mini Kurang Gizi


Jagungku sempat berbuah, tapi kecil banget.


Bukan baby corn aesthetic, tapi lebih ke “aku malas tumbuh di cuaca begini.”


Kayak anak sekolah yang dipaksa upacara pas hujan rintik-rintik: hidup ada, tapi semangat nihil.


Gulma Tumbuh Subur


Sementara tanaman utamaku drama semua, gulma justru paling survive.


Daunnya hijau.

Tumbuh cepat.

Pede banget.

Seolah berkata:


“Tenang… kalau tanamanmu mati, aku tetap ada kok.”


Dari semua tanaman, gulma justru yang paling setia. Ironis banget!


Musim Hujan & Risiko Kesamber Petir: Aku Nggak Se-Strong Itu


Pernah kepikiran untuk tetap naik ke rooftop sambil hujan-hujanan?


Pernah.


Tapi setelah mikir:


“Aku mau berkebun atau mau viral di berita?”


Akhirnya aku memilih hidup lebih lama untuk merawat tanaman lain.


Karena ya… siapa juga yang mau berkebun sambil bawa POC, tangan basah, rooftop open air, dan langit kilat-kilat?


Nope.


Aku masih mau hidup bahagia well...


Plot Twist Bahagia: Terong Survive Seolah Kebal Segala Cuaca


Di antara semua tanaman yang menyerah seperti aku tiap lihat saldo e-wallet, ternyata terong adalah MVP musim ini.


Bukan cuma hidup, tapi tumbuh sehat dan berbuah.


Ada terong ungu bulat dan terong hijau bulat, dua-duanya tumbuh gagah tanpa drama.


Aku sampai bengong:


“Serius kalian kuat? Kalian tumbuh di dunia yang sama dengan melonku tadi?”


Terong ini beneran strong independent vegetable.


Akhir Musim, Akhir Drama: Aku Tetap Bertahan


Setelah semua tragedi itu, aku sadar satu hal.


Berkebun di musim hujan itu bukan tentang hasil… tapi tentang mental.


Belajar pasrah, belajar ikhlas, belajar terima kenyataan bahwa tanaman gak selalu sesuai rencana.


Tapi juga belajar senang, karena ada satu-dua tanaman (kayak terong) yang bikin kamu merasa semua usaha gak sia-sia.


Makanya, kalau mau mulai urban farming:


Siap-siap kecewa.


Siap-siap ketawa sendiri.


Siap-siap nyalahin hujan tiap sore.


Tapi juga siap-siap bahagia waktu ada satu tanaman survive kayak pahlawan.


Karena pada akhirnya…


“Kebun mungkin tak terawat, tapi perasaanku minimal tetap sehat,”


Eaaa~



Tanam Melon di Rooftop: Urban Farming Zero Waste yang Drama Banget


dianti.site- Awalnya tuh simpel banget, aku cuma pengen ikut tren urban farming yang lagi rame di TikTok, niatnya sih healing tapi malah overthinking.

Katanya, kalau nanam tanaman, hidup jadi tenang, udara bersih, hati adem.

Realitanya? Yang adem cuma AC, bestii

Setiap kali liat orang di TikTok panen kangkung, tomat, sawi dari pot bekas, ekspresinya tuh kayak “hidupku damai banget.”

Aku yang nonton ikut termotivasi.

Mikir, “Ah gampang! Tinggal siram, kasih pupuk, panen. Gitu doang kan?”

Hahaha. Salah besar aku bestii.

Sekarang aku sadar, ternyata berkebun itu bukan cuma soal nyiram dan pupuk.

Tapi juga soal mental support karena tanaman tuh punya drama lebih banyak dari FTV sore.

Kalau sedikit aja telat disiram, langsung kayak mau give up on life.


Dari Galon Bekas Jadi Pot

Karena konsepku zero waste, aku gak beli pot baru.

Aku ambil galon bekas air mineral, potong, cat, kasih lubang di bawah, and done.

Hasilnya? Pot besar gratis dan surprisingly cukup kokoh 

Selain lebih hemat, pakai galon itu juga pas banget karena akar melon lumayan panjang. 

Jadi, niat zero waste ini bukan hanya gaya-gayaan, tapi beneran kepake.


Drama Pruning: Ketelatan yang Bikin Bingung

Awal nanam, aku beneran nggak tau kalau melon harus dipruning atau dipangkas. 

Kupikir melon bakal tumbuh rapi sendiri, tinggal disiram dan dipupuk. 

Tapi ternyata enggak! 

Melon tumbuhnya liar banget, merambat ke mana-mana kayak tanaman yang haus kebebasan bertahun-tahun.

Setelah banyak masukan dari orang-orang baik di TikTok, aku sadar kalau idealnya melon itu disisakan satu batang utama supaya fokus tumbuh dan berbuah.

Masalahnya… aku udah telat bangetttt.

Saat sadar, batangnya udah bercabang dua dan sama-sama terlihat “penting”.

Aku bingung harus buang yang mana. 

Akhirnya keputusan paling aman kuambil: dua-duanya kubiarin hidup.

Tidak sesuai aturan, memang.

Tapi yaudahlah learning by doing yakaaan? hihihi.


Baca juga: Rooftop Garden Story, Kangkung Organik dengan Sentuhan Zero Waste


Dari Kutu Daun ke Ulat Misterius

Awalnya aku pikir semua aman.

Tapi pas perhatiin lebih dekat, kok ada bintik-bintik hitam di bawah daun?

Ternyata kutu daun, banyak banget.

Aku panik, langsung jadi detektif kebun: nyemprot air sabun, ngelap satu-satu, kayak skincare-an tapi buat daun.

Setelah itu, aku pikir aman.

Daun-daun udah kupangkas rapi, tanaman udah cakep lagi.

Eh… seminggu kemudian, kejadian aneh muncul.

Daun yang baru tumbuh tiba-tiba bolong-bolong, kayak abis diserang pasukan tikus ninja.

Aku periksa pagi, oke masih bersih.

Sore, eeeeh kok bolong

Ulatnya tuh kayak makhluk gaib, gak pernah keliatan tapi hasil karyanya nyata.

Aku bongkar tiap daun, tiap lipatan batang, gak nemu.

Tapi tiap pagi, selalu ada daun korban baru.

Beneran aktif dan kreatif banget si ulat tuh udah kayak fandom BlekPing.

Sampai akhirnya aku sadar, mungkin ulatnya tinggal di dimensi lain dan cuma mampir malam buat makan daun lalu menghilang lagi.

Sumpah, kalau ini game, level ulatku tuh boss terakhir kayaknya.


Plot Twist Bernama Hujan

Belum sempat pulih dari ulat misterius, datanglah hujan deras tiap sore.

Dan tolong ingat ya, rooftopku itu open air, gak ada atap, gak ada pelindung, gak ada harapan dahlah..

Begitu hujan, air masuk langsung ke galon.

Tanaman melon yang tadinya semangat langsung letoy, daunnya kayak rambut abis kena rebonding gagal.

Aku naik ke rooftop sambil bawa kopi (niatnya mau chill).

Begitu liat melonnya kedinginan, aku cuma bisa ngomel:

“Baru dihantam hujan aja udah kalah. Gimana kalo nanti dihantam kabar PHK?”

Melonnya diem aja, tapi aku yang nagis meratapi nasib yang sudah diperjuangkan sekian purnama.

Sore itu aku resmi kehilangan satu pot melon.

Aku nunduk, hujan turun, lagu sedih berputar di kepala.

Skenario-nya udah kayak ending Drama Korea versi kebun.


Pupuk Ajaib yang Beraroma Misterius

Karena tetep pegang prinsip zero waste, aku eksperimen bikin POC alias Pupuk Organik Cair.

Bahannya simpel banget, sisa kulit buah, sayur layu, air cucian beras, semua dicemplungin ke wadah.

Minggu pertama, aromanya... luar biasa mengguncang dunia, ehhh hidung.

Campuran antara dapur, selokan, dan eksperimen kimia gagal.

Tapi hasilnya gak bohong!

Daun melon jadi hijau segar, batangnya makin kuat, dan tumbuhnya cepat banget.

Aku sampe mikir,

“Oh, ini ya rasanya jadi ilmuwan, tapi di rumah.”

Sekarang aku udah level pembuat pupuk dengan aroma kejujuran.

Kalau parfum bisa nyimpen aroma gak midal, mungkin POC-ku bisa jadi Eau de Misquens Edition. Wkwkwk 


Pestisida Nabati: Racikan Dapur untuk Mengusir Hama


Entah kenapa sisi idealis aku juga muncul saat bahas pestisida.

Aku bertekad nggak pakai pestisida kimia.

Jadi aku buat pestisida nabati sendiri dari bahan sekitar rumah: bawang putih, cabe rawit, daun sirsak, dan sedikit sabun cair sebagai perekat.

Diblender, disaring, dimasukkan botol, selesai.

Wewangiannya khas, tapi lumayan efektif, minimal bikin hama mikir dua kali sebelum makan daun melonku.


Melon Layu, Tapi Aku Naik Level

Setelah semua drama, dari kutu daun, ulat misterius, sampai hujan deras, aku tetep lanjut berkebun.

Karena ternyata urban farming itu bukan soal hasil panen, tapi soal kesabaran dan keikhlasan.

Kadang aku mikir, berkebun ini kayak hubungan percintaan.

Udah dirawat, dikasih perhatian, disiram tiap hari, tapi tetep aja… layu tanpa alasan, kayak di ghosting gitu, wkwk

Tapi dari situ aku belajar:

“Kalau bisa sabar ngurus tanaman, berarti kamu udah siap ngadepin hidup.” cielah deep, kayak yang bener tapi gak realistis, wkwk

Melon pertamaku memang tumbang, tapi aku naik level.

Aku belajar gimana cara pruning, bikin pupuk, dan ngontrol emosi biar gak nyemprot ulat pake Baygon.

Sekarang aku udah bisa liat daun bolong tanpa langsung overreact, cuma ngomel kecil aja kayak,

“Oke, gue tandain lu! Tapi hari ini gak ada buffet lagi ya, plis.”


Urban Farming Buat Semua (Termasuk yang Sering Galau)

Dulu aku kira urban farming cuma buat orang sabar, rajin, dan kalem.

Ternyata enggak, bestii.

Buat kamu yang gampang panik, gampang baper, bahkan gampang rebahan, cocok juga! 

Seriusss! Berkebun sore hari, cuaca udah mulai redup, sambil dengerin lagu-lagu galau Kahitna, nangeees lu! hahaha

Karena di dunia urban farming, kamu bakal belajar semua hal:

Problem solving waktu daun tiba-tiba gosong

Manajemen waktu biar gak lupa nyiram

Kesabaran ekstrem waktu panen molor dua minggu

Dan keikhlasan sejati waktu hasil panen cuma satu buah mungil tapi kamu tetep bangga banget

Jadi kalau kamu mau mulai, gak perlu lahan luas, gak perlu alat mahal.

Mulai aja dari apa yang kamu punya.

Bisa galon bekas, botol plastik, bahkan ember cuci asal gak bocor.

Dan kalau nanti tanamanmu layu, ingat satu hal:

It’s oke. Setidaknya ulatmu Melon Layu, Tapi Aku Naik Level

Setelah semua drama, dari kutu daun, ulat misterius, sampai hujan deras, aku tetep lanjut berkebun.

Karena ternyata urban farming itu bukan soal hasil panen, tapi soal kesabaran dan keikhlasan.

Jadi kalau kamu mau mulai, gak perlu lahan luas, gak perlu alat mahal.

Mulai aja dari apa yang kamu punya.

Bisa galon bekas, botol plastik, bahkan ember cuci asal gak bocor.

Dan kalau nanti tanamanmu layu, ingat satu hal:

“It’s oke, bestie. Setidaknya ulatmu happy dan kamu punya cerita buat ditertawakan nanti.” 

Belajar Bahasa Arab Level Mubtadi di Usia 30: Perjalanan Lucu Menemukan Makna Doa

Pelatihan Bahasa Arab UPA Bahasa Universitas Siliwangi

dianti.site - Kalau nanya kenapa aku tiba-tiba belajar bahasa Arab di usia 30 tahun, jawabannya bukan karena iseng atau juga bukan karena pengen pamer bisa ngomong kayak Nancy Ajram.

Dari dulu aku punya satu keinginan sederhana tapi gak pernah kesampaian, yaitu pengen bisa bahasa Arab.

Bukan buat keren-kerenan, tapi karena aku pengen ngerti arti dari doa-doa yang tiap hari aku baca.

Selama ini aku hafal, iya. 

Tapi paham? Belum tentu.

Masalahnya, aku gak pernah nemu tempat belajar yang pas.

Kadang waktunya bentrok, kadang kelasnya jauh, kadang juga... ya, cuma niatnya aja yang rajin, tapi langkahnya males.

Hidayah dari Scroll Sosmed

Kalian gak salah baca! Hidayah itu datang di sela doomscrolling sosmed di sore hari.

Lagi rebahan santai, muncul story dari UPA Bahasa Universitas Siliwangi:

“Kelas Bahasa Arab Level Mubtadi — cocok untuk pemula!”

Langsung mataku cling! Kayak semesta lagi nyentil, 

“Tuh, yang kamu cari dari dulu nongol juga.”

Aku kirim infonya ke suami sambil bilang:

“Sayang..Aku pengen ikut ini,”

Dan kayak suami ideal di drama Ramadan, dia jawabnya bukan cuma “boleh”, tapi langsung bantu daftar dari awal sampe selesai.

Dia bahkan lebih niat dari aku, semuanya dibantu.

Pokoknya dia gak cuma suami, tapi manajer pendidikan rohaniku sekaligus tim IT spiritual.

Tapi gara-gara itu, aku mikir "waaahhh gaada alesan buat mundur nih!" Hihihi

Evolusi Belajar Bahasa

Belajar Bahasa Arab

Waktu usia 20-an, aku kuliah teknik dan otomatis fokusnya jadi belajar bahasa pemrograman.

Aku terbiasa ngoding sampai tengah malam, bahkan sampai pagi, ya cuma buat nyari bug di baris kode.

Aku bisa nemuin kesalahan syntax dalam lima menit, tapi kalau disuruh nemuin makna doa, aku harus buka terjemahan dulu baru paham dikit. 

Lucunya, dulu di kampus aku belajar tentang machine logic, tapi sekarang di usia 30 aku lagi belajar makna kalamullah.

Dua-duanya susah, tapi yang ini rasanya lebih... menyentuh hati.

Usia Suhu, Skill Cupu

Kelasnya gak ramai, cuma beberapa peserta.

Aku jadi peserta paling suhu dalam segi usia, tapi sekaligus yang paling cupu skill-nya.

Diantara mereka, cuma aku yang bener-bener nol besar!

Yang lain masih muda, usia 20-an, dan rata-rata udah pernah belajar bahasa Arab di sekolah atau pesantren.

Baca juga: Rooftop Garden Story: Kangkung Organik dengan Sentuhan Zero Waste

Aku? Beneran cupu!

Bahkan ini adalah kali pertama bagiku dalam belajar bahasa Arab.

Pas instruktur nyuruh baca satu kalimat pendek, teman-teman lain bisa langsung nyebutin atau ngikutin dengan lancar.

Sementara aku masih bengong mikir,

“Emang artinya apa Ustadz?”

Tapi karena peserta dikit, interaksinya jadi intens banget.

Instrukturnya sabar banget dan sering bilang,

"Gak apa-apa pelan, nikmati prosesnya, dan konsisten,"

Kalimat itu jadi penyemangat ketika ngerasa minder banget dan ngerasa sangat tertinggal.

Lucunya Belajar dari Nol

Bahasa Arab Dasar

Belajar bahasa Arab level mubtadi itu kayak naik roller coaster emosional, antara kagum dan bingung jadi satu.

Baru juga hafal “Ismi Dianti” (Namaku Dianti), tiba-tiba udah pindah ke “Min aina anti?” (dari mana kamu?).

Otakku yang terbiasa mikir logika teknik langsung short circuit. wkwkwk

Dan setiap kali aku berhasil baca satu kalimat tanpa salah, rasanya kayak berhasil debug program tanpa error.

Tapi kalau salah? Ya udah, tinggal ketawa bareng teman sekelas.

Tarbiyah Itu Bukan Beternak

Waktu sesi perkenalan, para peserta disuruh nulis teks tentang diri sendiri, seperti nama, pekerjaan, dan hobi.

Aku semangat banget nulis:

“Ismi Dianti. Hiyawati Tarbiyah Al Hayawanati.”

Instruktur senyum sambil bilang, “Wah, Bu Dian mendidik hewan-hewan peliharaannya?”

Aku langsung bingung, 

“Lho, bukannya tarbiyah itu beternak, Ustadz?”

Sekelas meledak ketawa, wkwkwk

Dan sejak hari itu, aku resmi jadi bahan bercandaan, tarbiyah hewan-hewan.

"Apa sekarang hewan-hewanku sudah berakhlak mulia, karena terbiasa di-didik?" Hahaha

Ya Allah, sungguh perjalanan ini penuh daging...eh, makna.

Flashback: Kisah Tragikomedi “Ana Dulu Bu!”

Lucunya, kejadian salah arti bukan pertama kali buatku.

Dulu waktu kerja di sekolah berbasis pesantren, aku pernah bener-bener gak ngerti bahasa Arab.

Suatu hari anak-anak antre di depan ruanganku sambil bilang,

“Ana dulu Bu! Ana dulu!”

Refleks aku buka absen, nyari nama “Ana” tapi gak nemu-nemu.

Eh temennya ikutan nyeletuk,

 “Ana juga Bu!”

“Lho, kok banyak banget anak namanya Ana?!” pikirku dengan sambil sibuk cari nama Ana di daftar siswa.

Baru deh aku sadar kalau Ana itu artinya “Saya” 

Ya Allah, malu banget. 

Perihal "Ana" doang gak paham.

Tapi momen itu bener-bener lucu kalau diingat sekarang.

Mungkin memang udah ditakdirkan buat belajar bahasa Arab.

Dulu aku gak paham, supaya sekarang bisa belajar dengan tawa, bukan gengsi.

Feminim dan Maskulin: Ketika Kata Punya Jenis Kelamin

Kosakata Bahasa Arab

Salah satu hal yang bikin aku bengong pas belajar bahasa Arab ternyata kata juga punya jenis kelamin!

Iya, di dunia bahasa Arab, gak cuma manusia yang bisa feminim dan maskulin, kata benda pun punya identitas sendiri.

Misalnya, “ustadz” artinya guru laki-laki, tapi kalau gurunya perempuan jadi “ustadzah.”

Atau kata “thalib” (murid laki-laki) dan “thalibah” (murid perempuan).

Cuma nambah huruf ta marbuthah (ة) di belakang, tapi maknanya langsung berubah jenis.

Aku langsung mikir, 

“Oh jadi selama ini ta marbuthah itu kayak highlighter pink di akhir kata, tanda bahwa ini versi feminimnya,”

Dan dari situ aku mulai paham, belajar bahasa Arab tuh gak cuma ngafalin kosakata, tapi juga belajar mengenal karakter kata.

Arab Gundul Jadi Tantangan Besar

Nah, kalau ditanya bagian tersulitnya apa? jawabannya jelas, membaca Arab gundul!

Tulisan Arab tanpa harakat itu kayak teka-teki hidup. 

Kadang aku nebak “ini kayaknya fathah,” eh ternyata kasrah

Dan bener juga, setiap kali aku berhasil baca satu baris tanpa harakat dengan benar, rasanya kayak menang olimpiade. 

Kosakata yang Nambah Diam-Diam

Dasar Bahasa Arab

Hal paling ajaib selama belajar ini adalah betapa cepatnya kosakata bertambah. 

Sekarang aku udah bisa ngomong kalimat sederhana.

Dan setiap kali bisa ngomong satu kalimat tanpa macet, aku merasa kayak level up di game.

Cuma bedanya ini bukan Mobile Legends, tapi Mubtadi Legends. hihihi

Classmate Dikit, Tapi Seru

Karena pesertanya dikit, suasana kelas tuh kayak tim yang kompak banget.

Kalau satu orang salah baca, yang lain langsung bantu betulin, tapi sambil ngakak juga.

Aku suka banget momen-momen kayak gitu.

Rasanya bukan kayak kelas formal.

Tapi kayak nongkrong produktif bareng temen yang niatnya sama, pengen ngerti, bukan sekadar hafal.

Dari Hafalan Jadi Pemahaman

Semenjak ikut kelas ini, aku mulai ngerti arti doa-doa yang selama ini cuma jadi hafalan otomatis.

Tiap kata yang dulu lewat begitu aja, sekarang terasa punya makna dan rasa.

Misalnya waktu baca “Rabbighfirli” (Ya Tuhanku, ampunilah aku), aku baru sadar betapa lembutnya permintaan itu.

Dulu aku cuma baca cepat, sekarang aku berhenti sejenak, ngeresapi.

Ternyata doa itu bukan cuma tentang hafal, tapi tentang rasa tulus yang lahir dari pemahaman.

Cambuk Halus dari Drama Korea

Bahasa Arab dari Drakor Genie: Make a Wish

Entah kenapa, dorongan tambah semangat datang dari hal yang gak disangka, seperti drama Korea.

Waktu nonton “Genie: Make a Wish”, aku liat Bae Suzy dan Kim Woo-bin bisa ngomong bahasa Arab.

Auto bengong dong.

“Suzy sama Woo-bin dulu mesantren dimana yaa? Kok bisa pinter bahasa Arab?” wkwkwk

Malu tapi termotivasi, dan seperti cambuk halus bagiku.

Ternyata yang namanya motivasi bisa datang dari mana aja.

Aku Mungkin Paling Lambat

Kadang aku merasa minder karena teman-teman di kelas bisa lebih cepat paham karena udah punya dasar.

Tapi dari situ aku sadar, gak apa-apa aku belajar paling lambat, karena mungkin Allah sengaja memperlambat langkahku biar aku bisa menikmati setiap prosesnya.

Awal yang Datang di Usia 30

Sekarang setiap kali aku buka Al-Qur’an atau buku Doa, aku senyum kecil.

Tapi setidaknya, sekarang aku tahu arti dari setiap kata yang kuucapkan dalam doa.

Aku gak lagi hafal tanpa makna, aku paham walau masih terbata.

Dan rasanya... hangat banget.

Kalau dulu aku sibuk nyari bug di baris kode, sekarang aku sibuk nyari makna di baris doa.

Dan setiap kali aku ngerti satu ayat, aku merasa hidupku baru saja di-compile tanpa error. 

Mungkin aku datang paling akhir ke kelas ini, tapi ternyata di sinilah aku menemukan awal yang baru.

Yaitu awal memahami makna doa, bukan sekadar mengucapkannya.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih aku sampaikan kepada UPA Bahasa Universitas Siliwangi sebagai penyelenggara dan Ustadz Adi sebagai instruktur kelas Bahasa Arab ini.

Daaan, terimakasih kepada suami yang sangat mendukung aku ikut program ini, serta teman-teman kelas yang turut menghangatkan setiap pertemuan.***

Rooftop Garden Story: Kangkung Organik dengan Sentuhan Zero Waste

Kangkung Organik 

dianti.site- Kalau ada yang bilang urban farming itu cuma hobi “gabut”, percayalah…mereka belum pernah ngerasain panen kangkung sendiri di rooftop yang panasnya kadang kayak neraka sedang promo diskon 90% wkwkwk.

Sebagai orang yang suka eksperimen tanaman (dan kadang sok percaya diri), aku akhirnya bikin kebun kecil di rooftop rumah yang luasnya lumayan, anginnya semriwing, dan mataharinya full all you can shine.


Semuanya bermula dari satu keputusan sederhana “Daripada galon bekas numpuk, mending dijadiin pot.”

Dan begitulah kisah zero waste-ku dimulai. 

Galon-galon bekas air mineral yang tadinya cuma nunggu dijual kiloan, berubah jadi pot kece yang siap menampung tanaman. 

Serius, mereka langsung naik kasta dari “sampah plastik tak berguna” menjadi “pot urban farming kalcer” itu menurutku ya, menurutku aja.

Kenapa Kangkung? Kenapa Bangkok?

Kangkung Bangkok

Ada banyak pilihan tanaman sebenarnya, tapi kenapa aku pilih kangkung bangkok?
Jawabannya simpel:

- Kangkung itu bandel, cocok buat pemula.

- Cepat panen, jadi gak bikin galau nunggu lama kayak PDKT apalagi kalo ujungnya HTS-an, run lah!

- Kalau beli di pasar harganya receh, tapi kalau nanam sendiri… rasanya ulalaaa berharga banget.

- Kangkung bangkok itu cakep, daunnya besar, batangnya gagah, cocok difoto (penting).

Dan yang paling penting, aku penasaran:

“Kenapa namanya bangkok? Emang dia pernah travelling?”

Ternyata bukan. Itu cuma jenisnya aja. Tapi gapapa, yang penting terlihat lebih “premium”.

Rooftop: Surga Mini sekaligus Arena Gladiator

Kangkungku ditanam di rooftop yang notabene luas dan terbuka. 

Kedengarannya sih menyenangkan, kayak punya kebun di atas dunia, tapi kenyataannya mirip arena gladiator, karena: 

- Anginnya kenceng, kadang sampai daun melambai-lambai kayak artis dangdut.

- Mataharinya super niat, bisa bikin tanaman cepat tumbuh tapi juga cepat lemas kalau lupa disiram.

- Hujan tiba-tiba? Wah, itu boss level.

Walaupun begitu, aku tetap cinta rooftop ini. 

Disinilah konsep urban farming hidup. 

Baca juga: Daur Hidup Pertanian dan Peternakan di Rumah: Siklus yang Tak Pernah Berakhir

Bukan sekadar nanam buat gaya-gayaan, tapi juga buat membuktikan bahwa lahan sekecil apapun bisa jadi sumber kebahagiaan, asal mau kreatif.

Dan tentu saja, semua tanaman di rooftop-ku 100% organik. 

No kimia, no drama residu, no pusing mikirin efek samping.

POC: Pupuk Ajaib yang Bikin Kangkung Montok

Aku pakai POC (Pupuk Organik Cair) homemade dari fermentasi sisa dapur. 

Mulai dari air cucian beras, kulit bawang, daun sisa masak, sampai ampas sayur, semua didaur ulang biar gak jadi sampah sia-sia.

Pokoknya full zero waste.

Sampah dapur tidak pergi ke tempat sampah, tapi naik pangkat jadi nutrisi tanaman.

Dan hasilnya?

Kangkungnya tumbuh dengan percaya diri. 

Daun lebar, warna hijau pekat, dan batangnya… aduh, montok banget. 

Rasanya setiap kali lihat tanaman itu, aku pengen bilang:

“Adeeek, jangan gede-gede amat. Nanti takut sombong.”

Setiap tiga hari sekali, POC kusiramkan dengan penuh kasih sayang. 

Dan seperti biasa, si kangkung merespons dengan pertumbuhan super gesit. 

Aku sampai heran, “Ini kangkung atau anak kecil yang baru disuruh makan sayur?”

Perawatannya: Dari Disiram Sampai Disayang

Merawat kangkung ternyata jauh lebih santai daripada merawat tanaman lain, bukan malika yang dibesarkan seperti anak tiri, ehhh salah...

 Kangkung itu chill banget, yang penting:

  • Dapat air cukup

  • Dapat sinar matahari

  • Sesekali disemprot pestisida nabati biar gak diganggu serangga

Yups, aku juga bikin pestisida nabati sendiri: dari bawang putih, daun sirsak, atau air cabai. 

Yang penting, semuanya organik. 

Baca juga: Kebun dan Ternak Rumahan, Kita Usahakan Mandiri Pangan

Serangga cuma datang, cicip sedikit, lalu sadar bahwa “ini tanaman sehat, terlalu kuat untuk kami.”

Walaupun begitu, ada masa-masa di mana kangkungku sedikit tersinggung sama cuaca. 

Pernah suatu hari angin rooftop terlalu niat, sampai beberapa daun miring kayak habis disuruh ikut lomba balap barongsai deh. 

Tapi karena mereka kuat, semuanya balik sehat lagi.

Hari Panen: Saat Recehan Berubah Jadi Emas Emosi

Panen Kangkung

Setelah beberapa minggu, tibalah hari panen. 

Aku naik ke rooftop sambil bawa pisau dan gunting, feeling excited kayak mau mengambil rapor waktu SD.

Dan jreeeng kangkung bangkokku tumbuh subur banget.

Lebarnya, tingginya, warnanya… semuanya cakeep.

Saat mulai memanen, ada rasa pride yang sulit dijelaskan. 

Bukan karena kangkungnya mahal, tapi karena aku menanamnya dari nol.

Tiap batang yang kupotong rasanya seperti:

“Ya ampun, ini hasil kerja keras aku sendiri!”
“Ini bukan kangkung biasa. Ini kangkung PREMIUM!”

Kalau beli di pasar? Harga cuma seribu dua ribu.
Kalau panen sendiri?
Berasa panen emas hijau.

Aku tahu ini terdengar lebay, tapi perasaan bahagianya itu nyata. 

Rasanya seperti semua siraman, semua cek kondisi daun, semua semprotan POC… terbayar lunas.

Bahkan aku sempat foto-foto kangkung hasil panen. 

Bukan soal pamer, tapi buat dokumentasi kenangan manis antara aku dan tanaman, galon bekas, POC gratisan, dan sedikit cinta.

Masak Sendiri = Nilai Bahagia Naik 300%

Tumis Kangkung

Begitu masuk dapur, kangkung rooftop ini langsung naik level lagi. 

Dibuat tumis bawang putih sederhana aja udah nikmat. 

Rasanya renyah, segar, dan entah kenapa beda dari kangkung pasar.

Mungkin ini namanya “rasa usaha sendiri”.

Setiap kunyahannya…
“Wah, ini hasil keringatku!”

Setiap suapan…
“Inilah kebahagiaan versi urban farming.”

Dan sejak hari itu, aku makin yakin:
Urban farming bukan cuma aktivitas, tapi terapi hati.
Bikin kita sabar, menghargai proses, dan bahagia dengan hal-hal kecil.

Kesimpulan ala Emak-Emak Rooftop Farmer

  • Rooftop luas? Tanam dong. Sayang kalau cuma buat jemur baju.

  • Galon bekas? Jangan dibuang. Pot kangkung terbaik justru ditanam disitu.

  • POC? Gunakan yang organik. Tanaman sehat, bumi juga senang.

  • Kangkung bangkok? Receh di pasar, berharga di hati kalau panen sendiri.

  • Urban farming? Seru, menenangkan, dan bikin ketagihan.

Siapa sangka tanaman sederhana seperti kangkung bisa membawa kebahagiaan sebesar ini?

Kalau nanti panen lagi, kayaknya aku bakal bikin acara syukuran kecil. 

Minimal traktir diri sendiri es teh manis. Kan seger, segernya sama kayak panen kangkung pertama. hihihi***