Pusat Informasi

Merpati vs Patriarki, Cuma Mau Ngasih Makan Tapi Malah Kena Pencerahan Spiritual



dianti.site- Aku ke kandang dan miara beberapa jenis unggas itu niatnya sederhana banget.


Serius! Cuma mau ngasih makan unggas, ngecek air, terus balik ke rumah sambil ngerasa “wah, aku produktif ya.”


Tapi entah sejak kapan, tiap dari kandang aku pulang bawa:

- pikiran berat

- refleksi hidup

- dan perasaan aneh kayak baru ikut retret tanpa daftar


Semua gara-gara satu spesies unggas penghuni ruang vertikal di kandangku, yaitu MERPATI.


Patriarki di Dunia Unggas, Ayam Jantan Si Alpha Male yang Berisik


Kita mulai dari ayam jantan, ikon patriarki kandang polikultur unggas.


Kalo di analogikan sama sikap manusia, ayam jantan itu tipe orang yang:

- masuk ruangan paling berisik

- duduk paling depan

- tapi pas ditanya kontribusi, jawabannya muter-muter


Setiap pagi dia berkokok keras kayak “BANGUN SEMUA! AKU PEMIMPIN DI SINI!”


Padahal yang bangun cuma sebagian orang, dan itu pun bangun bukan karena terinspirasi, tapi karena kaget.


Naaah, sikap patriarki si ayam jantan mulai terlihat ketika betinanya bertelur dan mengeram.

Ayam jantan kayak langsung hilang dari radar.


Kontribusinya tinggal satu, yaitu keberadaan simbolik.


Yaaaaa, semacam pemeran figuran yang cuma numpang lewat aja, tapi paling koar-koar kalo dia udah main film, wkwkwk.


Baca juga: Tanam Melon di Rooftop: Urban Farming Zero Waste yang Drama Banget


Karakter Merpati Kayaknya Salah Genre


Setelah sekian lama mengamati perilaku keluarga ayam, tiba-tiba datanglah penghuni baru di kandang berupa keluarga merpati.


Merpati ini nggak ribut, nggak sok jago, dan nggak flexing testosteron.


Dia tipe yang kalau di tongkrongan, nggak banyak ngomong, tapi pas pesen makanan “gue duluan aja ya.”


Aku mulai ngerasa kok merpati ini genre-nya agak laen ketika si betina mulai ngeram, aku refleks mikir “Oke, hitung mundur. Tiga… dua… jantannya kabur...”


EH NGGAK Bestiiiiie.

Hari pertama masih ada.

Hari kedua dia naik ke sarang.

Aku berhenti jalan.


Beneran berhenti "Lah… kamu nggak salah genre nih? kamu kan sama-sama unggas,”


Merpati Pakai Sistem Shift, Bukan Sistem ‘Aku kan Kepala’


Hari berikutnya aku perhatiin lagi pola mereka setelah memiliki telur di sarangnya.


Ternyata mereka gantian! iya... si jantan dan si betina gantian merawat dan menjaga telur di sarangnya.


Yang satu ngeram, yang satu makan.

Yang satu capek, yang satu ganti.

Nggak ada drama.

Nggak ada sindiran pasif-agresif.

Nggak ada “aku capek tapi nggak enakan ngomong.”


Ini burung apa tim badminton ganda campuran?


Anaknya Menetas, Patriarki Auto Logout


Pas telurnya menetas, alias anaknya lahir di sarang mereka.


Awalnya aku nebak gini: biasanya ini fase jantan menghilang sambil bilang “aku dukung dari jauh,”


Tapi si merpati jantan malah nyuapin anaknya.


Aku kaget dong, "kok unggas satu ini agak beda ya?"


Karena fenomena aneh itu, aku akhirnya kepo dan sok rajin baca literatur (demi burung, aku rela jadi setengah akademisi, hahaha).


Secara ilmiah, merpati memang nggak menyusui kayak mamalia.


Tapi mereka menghasilkan susu tembolok (crop milk), yaitu cairan kental berwarna pucat yang diproduksi oleh lapisan tembolok induk dan jadi makanan utama piyik (anakan) di hari-hari awal kehidupannya.


Dan ini bukan mitos kandang.


Beberapa literatur unggas menjelaskan bahwa susu tembolok diproduksi oleh kedua induk, jantan dan betina, dipicu oleh hormon prolaktin yang meningkat menjelang dan sesudah telur menetas.


Artinya, secara biologis, merpati jantan memang “didesain” buat ikut ngasuh, bukan sekadar figuran.


Di titik ini, patriarki di kepalaku langsung nge-lag, kayak laptop tua disuruh buka banyak aplikasi sekaligus.


Burung merpati secara hormon dan sistem tubuh disiapkan untuk kolaborasi.


Jadi gak bakal ada lagi alasan klasik “aku nggak bisa, ini bukan tugasku”


Akhirnya aku cuma bisa bengong sambil mikir “Oh. Jadi ini bukan soal bisa atau nggak bisa. Tapi soal mau atau nggak mau,”


(fenomena susu tembolok ini banyak dibahas di literatur ornitologi dan fisiologi unggas, salah satunya pada studi tentang parental care pada Columbidae).


Baca juga: Awalnya Cuma Mau Slow Living, Kok Malah Jadi Ngos-ngosan Karena Unggas


Merpati Tidak Melawan Patriarki, Mereka Bikin Patriarki Ngerasa Aneh Sendiri


Yang paling absurd, merpati nggak pernah niat jadi simbol perlawanan patriarki.


Karena para merpati nggak demo, nggak bikin slogan, nggak bikin podcast 2 jam.


Mereka cuma hidup normal, tapi nunjukin cara kerjasama dalam membangun keluarga cemara, kalo mereka bisa nyanyi kayaknya bakal bawa lagu ini "selamat pagi emak... semalat pagi abah... (sambil goyang riang," hihihi.


Aku Pulang dari Kandang, Kok Rasanya Kayak Abis Diceramahi Burung


Sekarang tiap ke kandang, aku suka ketawa sendiri, tapi gak jarang juga pulang dari kandang langsung merenung. 


Kadang juga sambil ngomel “burung aja bisa bagi tugas, manusia ribut soal nyapu.”


Merpati nggak pernah bilang "Ini tugas kamu,"


Mereka justru membuktikan dengan tindakan “ini hidup kita.”


Selesai! Nggak pake debat.


Oh… Pantesan Merpati Jadi Simbol Pernikahan


Dan di sinilah aku kena pencerahan terakhir.


Aku tiba-tiba mikir “Oh… pantesan ya.”


Pantesan di pernikahan dilepas merpati.


Pantesan merpati jadi simbol cinta, kesetiaan, dan kebersamaan.


Bukan karena mereka romantis doang, tapi karena mereka kerja bareng.


Bukan karena mereka lucu, tapi karena mereka nggak ninggalin pas repot.


Jadi ternyata, simbol pernikahan itu bukan asal estetik.


Filosofinya mungkin sesederhana ini:
"kalau mau hidup bareng, ya ngeram bareng, capek bareng, dan ngurus anak bareng,"


Dan kalau burung aja bisa, masa manusia masih debat, siapa yang harus lebih lelah?


Kadang, jawaban hidup itu bukan di buku tebal, tapi di kandang kecil, yang dianggap kotor, tapi isinya waras.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar